Mohon tunggu...
Rusdi Mathari
Rusdi Mathari Mohon Tunggu... -

Seperti halnya kebenaran, ketidakbenaran juga bukan monopoli siapa pun.\r\n\r\nRusdi Mathari, \r\nwartawan tinggal di Jakarta,\r\nEMAIL: rusdi_man@yahoo.com & rusdimathari@gmail.com,\r\nTWITTER: @rusdirusdi\r\nBLOG: http://www.rusdimathari.wordpress.com,\r\nCELL: 62+8128480754

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak Boed, Apa Katamu?

30 November 2009   09:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 3638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau hak angket Century disetujui paripurna DPR dan kemudian benar menyentuh SBY maka selesai sudah rezim SBY. Jeffrey Winters memberi ancar-ancar sekitar Juni 2010. Namun seandainya menghasilkan kompromi, besar kemungkinan kasus itu hanya akan berhenti pada Sri Mulyani atau maksimal pada Boediono seperti temuan audit BPK itu. oleh Rusdi Mathari KETIKA namanya banyak disebut-sebut dan dipergunjingkan di banyak forum karena pengucuran dana ke Bank Century, Boediono seperti seorang resi yang bertapa. Dia memang sempat berbicara di depan wartawan asing di Jakarta dan memintapengucuran dana kepada bank bermasalah itu tidak dikaitkan dengan dana kampanye partai politik tertentu, tapi hanya itu. Selebihnya tidak ada suara dari Pak Boed kecuali tudingan kepadanya sebagai orang yang bertanggung jawab dalam kasus Century yang semakin riuh.

Itu juga termasuk dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang merasa ditipu oleh Boediono dalam kasus pengucuran dana kepada Century. Bu Menteri konon sempat menemui seorang mantan pejabat negara dan mengadukan semua persoalan Century. Kepada orang itu, Sri Mulyani mengungkapkan dirinya tak mau dipenjara gara-gara kasus Century. Paling tidak, begitulah kata Johan O. Silalahi yang mengaku mendapat penjelasan dari mantan pejabat yang ditemui Sri Mulyani.

Lalu desakan agar Boediono mundur sebagai wakil presiden, suaranya mulai terdengar samar-samar mengetuk ruang publik, meski desakan yang sama juga ditujukan kepada Sri Mulyani. Suara paling jelas datang dari Amien Rais, ketika dia menerima rombongan Maruarar Sirait kemarin sore. Maruarar menyambangi Amien untuk meminta dukungan usul hak angket Century yang digulirkan fraksinya, PDI Perjuangan.

Kata Amien, baik Boediono maupun Sri Mulyani perlu secara sadar menonaktifkan dirinya agar tidak menjadi beban bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Langkah itu penting karena menurut Amien, demi nama baik Boediono dan Sri Mulyani dandemi memperlancar proses hukum. Tak lupa, mantan Ketua MPR itu menyarankan agar Pak Boed menunjukkan jiwa kenegarawanan dan tidak bertindak sebagai buto cakil. Entahlah apa yang dimaksud Amien dengan nonaktif itu, karena bahkan presiden dan DPR tidak bisa menonaktifkan wakil presiden.

Boediono adalah orang yang tidak suka publikasi. Barangkali karena itu, dia juga tidak tampak, ketika Presiden SBY mengumpulkan para pemimpin redaksi media di Jakarta di Istana Negara, Minggu malam dua pekan silam. Presiden hanya terlihat didampingi beberapa menteri: Hatta Radjasa, Djoko Soeyanto, Gamawan Fauzi, Sudi Silalahi, Tifatul Sembiring, dan Andi Mallarangeng. Untuk nama yang terakhir, tidak terlalu jelas, untuk kepentingan apa seorang Menteri Pemuda dan Olahraga hadir dalam pertemuan malam itu.

Benar, acara itu memang bukan acara kenegaraan dan tak wajib dihadiri wakil presiden tapi melewatkan acara politik di Istana dengan isu yang juga menyangkut dirinya dan juga bahkan dihadiri oleh seorang Menteri Pemuda dan Olahraga, ketidakhadiran Boediono tentulah bisa menimbulkan tafsir tersendiri. Semasa menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla misalnya hampir selalu terlihat di sisi presiden jika presiden mengumumkan keputusan politik penting di Istana. Ke mana Pak Boed?

Sebelumnya saya mengira Pak Boed masih di Eropa bersama rombongan wartawan tapi saya kemudian tahu, dia sudah kembali ke Jakarta sejak Kamis atau Jumat dua atau tiga hari sebelumnya. Belakangan saya mendapat kabar, Pak Boed tidak hadir di Istana karena sedang meninjau rumah dinas yang akan ditempatinya di Jalan Diponegoro. Tentu hanya Boediono yang tahu, apakah melihat-lihat rumah dinas itu lebih penting ketimbang mendengarkan kesaksian SBY di depan para wartawan malam itu atau sebetulnya memang ada “masalah” lain.

Satu hal yang jelas, di Istana Negara malam itu, Pak Presiden berkeluh kesah soal kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah dan Bank Century. Kurang lebih dua jam lamanya SBY memberikan pernyataan di depan para pemimpin redaksi termasuk mencurahkan kerisauan, karena namanya, keluarganya, dan partainya diseret-seret dalam kasus Century. Kata dia, menjadi sesuatu yang tercela, jika seorang presiden seperti dirinya mendapatkan dana atau meminta dana atau berharap ada dana dari sumber-sumber yang tidak semestinya. Pak Presiden karena itu meminta kasus Century dibuka seluas-luasnya meski pernyataan itu belum tentu dimaksudkan untuk membuka atau membuktikan ke mana saja dana kepada Century kemudian mengalir.

Senin pagi keesokan harinya Partai Demokrat menyatakan dukungannya terhadap usul hak angket Century disusul pengumuman BPK yang menyampaikan hasil auditnya tentang Century siang harinya. Malam harinya SBY kembali berpidato soal penanganan status Bibit-Chandra dan kasus Century. Tak ada yang istimewa dari sikap Demokrat yang muncul belakangan untuk mendukungusul hak angket. Pidato SBY malah mengecewakan.

Isu besar hari itu justru muncul dari BPK dengan temuan hasil auditnya yang mengungkap peran Sri Mulyani dan Boediono dalam proses pengucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Century. Sejak itulah, muncul suara-suara yang meminta Pak Boed dan Sri Mulyani mundur dari jabatannya termasuk yang belakangan didesakkan oleh Amien dengan istilah nonaktif. Sebagian orang lantas menilai, temuan BPK itu hanya sebuah isyarat, akan ada yang dikorbankan dalam kasus Century, tapi benarkah Pak Boed dan Bu Sri Mulyani yang akan dijadikan tumbal untuk menyelamatkan muka SBY?

Teror Pemilu 17 Juli silam beberapa hari setelah usai pemilu presiden, SBY berpidato di Istana tentang adanya pihak-pihak yang berusaha menggagalkan hasil pemilu presiden dan karena itu dianggap sebagai upaya menggagalkan pelantikan dirinya dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Asap dari ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta ketika itu belum sepenuhnya sirna. Didampingi antara lain oleh Kapolri Bambang Hendarso Danuri, SBY kemudian menunjukkan beberapa foto temuan intelijen yang menggambarkan dirinya menjadi sasaran pembunuhan kendati gambar-gambar itu adalah foto-foto yang pernah ditunjukkan oleh BIN di depan Komisi I DPR, empat tahun sebelumnya. Dengan wajah yang dibuat serius, hari itu SBY bersumpah menumpas aksi teror hingga ke akar-akarnya.

Sebagian orang mendukung sikap SBY tapi lawan-lawan politik SBY diliputi rasa cemas karena khawatir dituding memicu teror untuk menolak hasil pemilu. Prabowo Subianto bahkan menemui SBY dan menyatakan bersedia membantu SBY memberantas aksi teror. Lalu benarkah pidato SBY itu ditujukan untuk menyikapi aksi peledakan di dua hotel di Mega Kuningan, Jakarta itu?

Sebagai pihak yang sudah berada di atas angin, SBY saat itu tentu berkepentingan mengamankan kemenangan sementaranya dalam pemilu presiden agar menjadi kemenangan tetap dan kemudian dilantik menjadi presiden. Usaha-usaha yang dianggap berpotensi menghambat rencana itu termasuk aksi-aksi teror dan juga usaha pendudukan KPU seperti yang disebutkan Kapolri, karena itu harus digagalkan. Dia butuh legitimasi agar pelaksanaan pemilu tetap dianggap demokratis. Citra itu harus dipertahankan. Setidaknya harus ada pelantikan terlebih dulu.

Namun hingga pidato Pak Presiden tentang aksi teror itu, yang luput dari perhatian orang adalah laporan kasus pengucuran dana ke Century yang sebetulnya sudah lebih sebulan masuk ke KPK, dan kabarnya ada di tangan Bibit-Chandra. Laporan itu mengaitkan dana pengucuran Century yang diduga digunakan oleh salah satu partai dan pasangan capres/wapres untuk kepentingan pemilu. Ada beberapa pihak yang kemudian juga memprotes pelaksanaan dan hasil pemilu. Mengadukan ke MK dan sebagainya.

Hanya SBY yang tahu,yang mana sebetulnya yang disebutnya sebagai usaha-usaha yang akan menggagalkan pelantikan dirinya dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih: aksi teror dan potensi kekerasan setelah pemilu, atau kasus Century yang berada di tangan Bibit-Chandra. Cuma, setelah peledakan bom dan soal SBY yang mengaku dijadikan sasaran pembunuhan, muncul kemudian rentetan kasus yang menyita perhatian publik: aksi Densus 88 memberantas teror, kasus Cicak-Buaya, kasus Bibit-Chandra, dan sebagainya.

Direkayasa atau tidak, semua kasus itu kemudian menenggelamkan protes sebagian orang tentang kecurangan pelaksanaan pemilu dan tertundanya niat KPK mengusut Century. SBY dan Boediono pun resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, 20 Oktober silam meski di luar hitungan SBY, kasus Century kemudian juga berkembang menjadi bola salju mengiringi kasus Bibit-Chandra, Anggodo Widjojo, Susno Duadji dan Abdul Hakim Ritonga.

Lalu besok, di Senayan, rapat paripurna DPR akan memutuskan apakah usul hak angket yang diusung PDI Perjuangan itu bisa disahkan atau tidak. Andai disetujui dan hak penyelidikan itu kelak menemukan bukti penyaluran dana kepada Century digunakan oleh salah satu partai dan pasangan capres/cawapres untuk kepentingan pemilu, juga keterlibatan Boediono dan Sri Mulyani, maka SBY mau tak mau akan menghadapi kenyataan terburuk. Secara politik, kata pakar ekonomi politik dari Amerika, Jeffrey Winters, SBY tidak akan bisa bertahan. Namun semua orang kini menunggu, akan bagaimana kompromi hak angket itu kelak akan diselesaikan di meja politik? Menelisik jauh hingga ke menyentuh SBY dan itu berarti kejatuhan bagi pemerintahan SBY, atau cukup berakhir di Boediono dan Sri Mulyani?

Hanya Mundur Awal Januari 2009, Bill Richardson yang baru diangkat sebagai Menteri Energi dalam kabinet Barrack Obama tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya. Dia adalah mantan Gubernur New Meksiko dua kali berturut-turut. Hanya beberapa hari menjadi menteri, FBI dan Departemen Keuangan setempat mengungkapkan adanya sumbangan yang mencurigakan dari CDR Financial Product Inc. yang digunakan Richardson ketika dia maju bertarung memperebutkan tiket capres melawan Obama dalam konvensi capres Partai Demokrat 2006.

CDR adalah inisial sebuah perusahaan rekanan di negara bagian New Meksiko. Perusahaan itu bergerak di bidang jasa keuangan dan mendapatkan proyek senilai US$ 1,6 miliar dengan membukukan keuntungan US$ 1,4 juta. Sebagian keuntungan itulah yang disumbangkan oleh CDR ke dalam dana tim kampanye Richardson. Tak banyak hanya sekitar US$ 100 ribu.

Sumbangan itu semula tidak terdeteksi tapi beberapa pekerjaan CDR yang tidak beres telah memaksa FBI melakukan investigasi dan menemukan sumbangan US$ 100 ribu yang masuk ke tim sukses Richardson. Skandal itu menjadi perhatian publik di Amerika dan Richardson disalahkan meski tidak ada pengadilan untuknya. Jalan keluarnya, dia memilih (atau diminta) mundur dari jabatannya sebagai menteri energi. Kepada wartawan, dia mengaku bertanggung jawab secara moral. Hanya itu dan pemerintahan Obama terbebas dari tuduhan “menyimpan” orang-orang bermasalah. Citranya terkerek.

Sekarang marilah berandai-andai soal Century. Kalau hak angket DPR itu kemudian menghasilkan kompromi, besar kemungkinan kasus itu hanya akan berhenti pada Sri Mulyani atau maksimal pada Boediono seperti temuan audit BPK itu. Itu berarti keduanya akan dipaksa atau diminta mundur dan bukan nonaktif seperti desakan Pak Amien. Dengan demikian, tumbal Century telah terjawab kendati babak baru pertarungan politik justru baru akan dimulai sejak itu.

Soal pengganti Sri Mulyani mungkin perkara gampang dicari tapi pengganti posisi Boediono itulah yang akan dijadikan alat untuk kompromi politik yang baru. Saat ini saja sudah berkembang rumor, Aburizal Bakrie dan Hatta Radjasa mengincar posisi Boediono meski SBY niscaya juga sudah punya pilihan tersendiri yang kemungkinan besar bukanlah orang partai. Seorang kawan menyebut Djoko Soeyanto, orang dekat SBY selain Hatta. Sama-sama berasal dari Jawa Timur, Djoko akan dipilih SBY sekaligus untuk mendinginkan kegerahan militer setelah posisi Mendagri dan BIN tidak lagi berada di bawah kontrol tentara. Bagaimana nasib Boediono?

Sama dengan kasus Richardson, baik Boediono dan jugaSri Mulyani kemungkinan besar tidak akan dipidana melainkan hanya disalahkan karena soal administrasi, soal moral hazard. Bahkan untuk tidak mempermalukan, bukan tak mungkin keduanya akan kembali diberi kepercayaan, misalnya sebagai utusan pemerintah untuk merundingkan moratorium atau penundaan pembayaran utang negara dengan para kreditor di Washington. Tidakkah Susno yang diberhentikan sebagai Kabareskrim Mabes Polri juga dikabarkan sedang diplot menjadi Duta Besar RI untuk Malaysia?

Sebaliknya kalau hak angket itu lalu benar menyentuh SBY maka selesai sudah rezim SBY. Winters memberi ancar-ancar sekitar Juni 2010 dan pemilu bisa diulang. Atau kalau pun bertahan, dengan pengganti Boediono misalnya, SBY menurut Winters akan menjadi presiden yang “cacat.” Mungkin presiden yang tidak tahu malu. Sementara Pak Amien mungkin akan manggut-manggut.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Rusdi GoBlog.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun