Waktu itu..
aku sudah merangkai kata untuk meninggikanmu sampai ke langit
namun  semesta menegurku, untuk tidak berlebihan tentangmu
bahkan aku pernah menabrak teguran itu
hingga semesta membuka mata dan hatiku, tentang wujud aslimu
Begitu juga dirimu
engkau sudah memperlakukanku dengan baik menurut versimu
lalu semesta menegurmu, untuk menilik lagi niatmu
engkau pernah berlaku curang padaku
hingga semesta menghukummu, aibmu tersingkap karena kecerobohanmu sendiri
Aku pernah memahat keistimewaanmu dalam keragu-raguan
namun, perangai dan doronganmu cukup meyakinkan
engkau berhasil menjeretku ke dalam lingkarang hitam yang kau buat
beruntungnya, aku selamat dari genggamanmu
Engkau pernah membuatku tertawa sumringah
dan aku sadar, itu hanya taktik untuk menarik simpati
aku ingat betul, ada penghargaan yang kau janjikan
tetapi engkau menafikya, hingga sekarang kau abaikan janji itu
Terakhir..
aku ingat ada hadiah manis darimu
siang itu, engkau berikan langsung tanpa perantara
dan aku menerimanya dengan penuh tanya
untuk apa benda ini?, kenapa harus benda ini?
apakah serendah itu apresiasi yang aku terima?
Â
Hadiah itu bernama ampelas kayu
selembar ampelas kayu bekas, untuk membayar pengorbanankah?
selembar ampelas kayu, untuk lambang terima kasihkah?
yang ku tahu, selembar ampelas kayu itu hadiah termurah dari seorang pengayom
Ambon, 6 Juni 2022
Roesda Leikawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H