Mohon tunggu...
Roesda Leikawa
Roesda Leikawa Mohon Tunggu... Editor - Citizen Journalism, Editor, Penikmat Musik Instrumen dan Pecinta Pantai

"Menulis adalah terapi hati dan pikiran, Kopi adalah vitamin untuk berimajinasi dan Pantai adalah lumbung inspirasi" -Roesda Leikawa-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Morella

21 Juni 2018   11:01 Diperbarui: 21 Juni 2018   18:34 2576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saling Pukul Dengan Sapu Lidi

Atraksi 'Pukul Sapu Lidi" telah menjadi tradisi adat di Negeri Morella, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah sejak zaman dahulu, hingga saat ini masih terus dilaksanakan pada setiap moment 7 Syawal, dalam bahasa daerah Morella, masyarakat menyebutnya Palasa atau Baku Pukul Manyapu yang artinya saling memukul dengan sapu lidi (batang daun enau).

Pesertanya terdiri dari para pemuda yang sudah dibagi menjadi dua regu, tiap regu berjumlah minimal 10 orang dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada serta memakai pengikat kepala merah (kain berang). Sebelum masuk ke arena mereka harus berkumpul di rumah Pusaka Marga Wakang untuk melalui prosesi adat.

Saling Pukul Dengan Sapu Lidi
Saling Pukul Dengan Sapu Lidi
Duel darah tanpa dendam
Saat di arena kedua regu saling berhadapan, setiap orang memegang batang lidi enau yang berukurang besar (lingkaran pangkal 0,5 cm dan bonggolnya selebar 3-5 cm). Kedua regu tersebut saling memukul pada tubuh lawannya hingga luka dan berdarah secara bergantian.

Menariknya meskipun tubuh para pemuda itu sudah terluka namun tidak ada satu pun yang marah apalagi menyimpan dendam. Sebab luka dan darah itu merupakan simbol perjuangan melawan penjajah.

Luka dan darah hasil Pukul Sapu Lidi ---edited
Luka dan darah hasil Pukul Sapu Lidi ---edited
Sejarah atraksi pukul sapu lidi Negeri Morell
Atraksi ini awalnya merupakan permainan anak-anak di Benteng Kapahaha (Morella) jauh sebelum adanya perang melawan VOC Belanda. Dan untuk pertama kalinya tradisi ini mulai dipentaskan kembali setelah perang berakhir tahun 1646 yaitu pada saat acara perpisahan Kapitan dan Malesi yang berjuang mempertahankan Benteng Kapahaha dari VOC Belanda.

Pada perpisahan tersebut, turut pula serombongan pemuda Kapahaha mempertunjukkan Atraksi Pukul Sapu Lidi, para Kapitan dan Malesi larut dalam atraksi itu, luka dan darah hasil saling pukul dengan sapu lidi tersebut, dapat mengingat kembali perjuangan berdarah pada Perang Kapahaha yang telah berlalu.

Perpisahan sangat berkesan dengan pekikan dan cucuran air mata serta sumpah setia dengan satu ikrar untuk menetapkan Atraksi Pukul Sapu Lidi menjadi tradisi adat dan membudaya sepanjang masa. Sejak itulah maka Tradisi Pukul Sapu Lidi selalu diadakan di Negeri Morella setiap tanggal 7 Syawal sebagai salah satu momentum untuk mengenang kembali Perjuangan Para Leluhur di Benteng Kapahaha.

Peserta Pukul Sapu Lidi Morella
Peserta Pukul Sapu Lidi Morella
Perang Kapahaha
Untuk diketahui bersama bahwa Perang Kapahaha berlangsung selama 9 Tahun, dimulai pada tahun 1636 yakni saat pengepungan Benteng Kapahaha dan pendirian Markas VOC Belanda di Teluk Sawatelu. Perlawanan demi perlawanan dilakukan dalam menghadapi kaum penjajah. Korban berjatuhan di kedua pihak, hingga saat penangkapan terhadap Yata Pori oleh Belanda di teluk Nandaluhu dan menjadikannya sebagai penunjuk jalan menuju Kapahaha.

Dalam Kapata (syair) dikisahkan, puncak peperangan ketika penjajah melakukan agresi militernya yaitu selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya pada tanggal 27 Juli Tahun 1646 VOC berhasil menyerang dari laut dengan meriam kapal, sedang di sekitar benteng, pasukan Belanda juga terus melakukan tekanan.

Pertempuran berlangsung sengit, dalam detik-detik terakhir ketika benteng tidak mungkin lagi untuk dipertahankan, Telukabessy harus mundur guna menyusun kekuatan kembali melawan Belanda. Namun banyak pejuang yang gugur, bahkan Srikandi Kapahaha, Putijah (istri Telukabessy) juga gugur sebagai Pahlawan Bangsa.

Dengan jatuhnya Benteng Kapahaha, banyak masyarakat dan Kapitan ditangkap dan ditawan di teluk Sawa Telu. Beberapa di antaranya diasingkan ke Batavia.

Gubernur VOC di Ambon, kemudian memerintahkan agar Kapitan Telukabessy segera menghadap di Markas VOC untuk bertanggung jawab atas perlawanan dan membebaskan rakyatnya yang ditawan. Jika tidak, maka seluruh rakyat yang ditawan akan dibunuh. Dengan jiwa Kapitan maka pada tanggal 19 Agustus 1646 Telukabessy menghadap Komandan Verheijden. 

Di hadapan Gubernur Gerard Demmer, Telukabessy mengajukan beberapa tuntutan tegas, namun tuntutan tersebut tidak diindahkan oleh Belanda. Hingga pada akhirnya Kapitan Telukabessy digantung mati pada tanggal 13 September 1646 di Benteng Victoria Ambon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun