Mohon tunggu...
Roesda Leikawa
Roesda Leikawa Mohon Tunggu... Editor - Citizen Journalism, Editor, Penikmat Musik Instrumen dan Pecinta Pantai

"Menulis adalah terapi hati dan pikiran, Kopi adalah vitamin untuk berimajinasi dan Pantai adalah lumbung inspirasi" -Roesda Leikawa-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Begini Caranya Saya Bercinta dengan Kopi

21 Juni 2016   02:33 Diperbarui: 21 Juni 2016   18:50 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana hening begini akan terasa kurang lengkap jika tidak ditemanin kopi, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 WIT, entahlah mata ini belum bisa untuk dipejamkan, maka solusinya adalah mengambil laptop tua untuk mengetik hasil kompromi hati dan pikiran di atas tombol keyboard. Dan seperti biasa saya buatkan sendiri secangkir kopi susu.

Sebenarnya saya bukan penikmat kopi sejati yang harus setiap hari meminumnya, hanya sesekali saya merindukan pahit manisnya di saat waktu tertentu. Tapi kalau bicara tentang kopi saya langsung teringat pada almarhum bapak, beliau adalah salah satu dari sekian banyak lelaki pecinta dan penikmat kopi hitam.

Pada bapaklah saya belajar mengenal kopi, mulai dari cara memetik buahnya, mengupas kulit, proses pengeringan, sampai menggiling untuk mendapatkan serbuk halus, selanjutnya menjadi secangkir kopi.

Sekitar tahun 1990-an bapak saya menanam beberapa pohon kopi di kebun, hasilnya untuk konsumsi keluarga saja. Saat itu saya masih dibangku Sekolah Dasar. Setiap liburan kami pasti diajak ke kebun untuk memanen beberapa hasil perkebunan, salah satunya adalah memanen biji kopi.

Masih teringat jelas aroma biji kopi itu, tak bisa saya gambarkan dengan kata-kata, yang saya tahu aromanya bikin tenang, betah dan yang pastinya ngangenin. Rasanya memang pahit tapi aromanya selalu alami, bahkan tanpa pemanis pun, wanginya tetap menarik jiwa ke dalam secangkir gelas.

Pada usia 12 tahun itulah, pertama kali saya diminta bapak untuk buatkan secangkir kopi, dengan semangatnya saya menuruti permintaannya, ya wajarlah di usia seperti itu adalah masa di mana anak-anak perempuan penasaran melakukan pekerjaan orang tua di dapur, maka saya pun buatkan kopi pada bapak, dengan penuh hati-hati saya bawakan secangkir kopi hitam yang masih panas, sambil melangkah hidung ini pun tak mau ketinggalan menikmati aroma kopi panas.

Sumber: melsdiner.ca
Sumber: melsdiner.ca
Apa Yang Terjadi..?
Setelah kopi itu saya berikan pada bapak, beliau pun langsung meminum sedikit dan tertawa sambil berkata, “ini kurang gula, masih pahit,” saya kaget dan bingung mendengar komentarnya, lalu saya pun bertanya, “Memangnya harus pakai gula?”, sambil kebingungan menanyakan itu pada bapak (maklumlah itu adalah pengalaman pertama saya membuat kopi tanpa mencampurnya dengan sedikit gula). Bapak pun menjelaskan, “Iya kopi itu harus pakai gula”.

Akhirnya saya langsung kembali ke dapur dengan membawa kopi tersebut untuk tambahkan sedikit gula pasir, dan seperti biasa saya berjalan sambil menimakti aromanya. Sesampai di meja, dekat tempat duduk bapak, saya letakkan kopi itu secara perlahan. Kemudian bapak pun mencicipi hasilnya, dan beliau berkata, “Ini telalu manis,” sambil tersenyum dia letakkan kembali gelasnya diatas meja itu. Ach komentar ini bikin saya kesal, sebab saya belum mengerti bagaimana caranya membuat kopi enak.

Tanpa berpikir panjang, saya langsung membawa kembali kopinya ke dapur, kemudian membuang sisa kopi tadi dan membuat yang baru. Kali ini saya tidak menambahkan gulanya. Hanya dua sendok kopi hitam lalu dituangkan air hangat. Saya pun membawanya ke bapak, namun sebelum dicicipi, saya bilang ke bapak untuk menunggu sebentar, karena saya akan kembali ke dapur untuk mengambil gula pasir. Pada saat itu saya memintanya untuk menambahkan sendiri gula pasir. Beliau pun mengiyakannya dan menambahkan sesuai dengan seleranya, saya ikut menghitung takaran sendok yang ditambahkan pada kopi itu. Nah mulai dari situlah akhirnya saya mengerti, ternyata selera bapak ada pada dua sendok kopi dan dua setengah sendok gula pasir.

Saat itu saya masih kecil, jadi tidak diperbolehkan untuk meminum kopi, hingga masuk kuliah pun saya belum juga tertarik untuk menikmati rasanya. Yang saya tahu adalah bagaimana cara membuat kopi dari proses memetik buah sampai menjadi secangkir kopi secara manual saja.

Sekitar tahun 2013, barulah saya mulai mencoba untuk meminum kopi, itupun tidak keseringan. Hanya sesekali saja. Belakangan di akhir tahun 2014 hingga saat ini saya mulai masukin kopi dalam daftar minuman favorit saya. Mau bagadang ngopi, mau nulis ngopi, mau nonton film bareng teman di rumah ya wajib ngopi, kalau ngantuk pas jam kerja harus ngopi dulu, ngumpul sama teman-teman ya cari rumah kopi. Seperti itulah saya dengan kopi.

Di sela-sela aktivitas selalu ada kopi - Foto Pribadi
Di sela-sela aktivitas selalu ada kopi - Foto Pribadi
Butuh Waktu Untuk Jatuh Cinta
Padahal sejak kecil saya sudah akrab dengan kopi, seperti yang saya jelaskan di atas bahwa bapak sudah mengajarkan pada kami bagaimana cara membuatnya. Hanya saja saya belum menyukainya secara utuh. Untuk mencintai kopi tidak hanya sebatas suka membuatnya saja tapi harus benar-benar bisa menikmatinya. Minum secara perlahan dan nikmati semua yang dirasa maka kita akan mengetahui apa yang terjadi. Lidah, tenggorakan, bahkan hati dan pikiran akan bersatu dalam satu defenisi yang sama, bila kopi itu diminum sedikit secara pelan-pelan, serta dinikmati dengan tenang.

Ya begitulah, butuh waktu untuk mendefenisikannya dan harus perlahan-lahan minum kopi, seperti yang diungkapkan barista dalam kata bijaknya, Kopi itu nikmat bila dinikmati selagi panas namun jangan terburu-buru bila meminumnya karena kau akan terluka, dan hidup ini akan nikmat bila kita mengerjakan segala sesuatu dengan lugas namun jangan terburu nafsu karena nantinya kau akan kecewa”.

Ini memang butuh waktu untuk mencintai kopi, sebab pada kenikmatannya itu, di dalam kopi terkandung kafein, yang merupakan senyawa kimia alkaloid yang dikenal sebagai trimetilsantin dengan rumus molekul C8H10N4O2. Jumlah kandungan kafein dalam kopi adalah 1-1,5%. Kafein yang terkandung dalam kopi akan menggairahkan saraf, sehingga terjadi tekanan pada jantung, juga menurunkan nafsu makan, nah itu yang tidak diperbolehkan untuk usia anak-anak. Maka meskipun saya sudah mengenalnya sejak kecil tapi harus bersabar untuk menikmatinya pada waktu yang tepat, itu pun tidak boleh melewati dua cangkir gelas.

Belajar Hidup dari Secangkir Kopi
Membuat Kopi sejak kecil, itu bukan masalah besar, jangan sampai ada yang memrotesnya sebagai pelanggaran hak anak atau mempekerjakan anak-anak. Apa yang sudah saya lakukan itu hanyalah sebuah pelajaran kecil dari orang tua bagaimana melalui hidup ini, sebab tidak selamanya kita akan berada pada posisi atas. Tidak selamanya hidup ini manis, bahwa kita juga harus siap mandiri hadapi kehidupan yang keras dan pahit .

Sama halnya menikmati kopi, ada pahit dan manis seperti halnya cinta yang tak pernah lupa bagaimana rasanya dilukai, seperti dua sahabat yang sama-sama menyimpan cinta namun tidak berani mengungkapkan, seperti kesalahan masa lalu dan menjadi manis bila dijadikan pedoman, seperti rindu yang menyakitkan namun indah saat bertemu, seperti cinta bertepuk sebelah tangan, manisnya berkhayal miliki kekasih idaman namun yang dicintai tidak merespon, seperti ikhlas bekerja walau tidak mendapat promosi jabatan, seperti merindukan hujan di siang bolong, seperti itulah pahit manis pelajaran dari kopi, selanjutnya silahkan anda menerjemahkan sendiri filosofi kopi.

Jadi Bagaimana Perempuan Bercinta dengan Kopi…?
Menurut saya perempuan yang ingin bercinta atau sudah terlanjur candu ngopi, idealnya dia pahami betul cara membuatnya dan memahami makna filosofi kopi itu sendiri. Supaya tidak terkesan ikut-ikutan dibilang cewek gaul saja, tapi juga cerdas menuang kopi ke dalam hati.

Ach ada juga orang yang menganggap cewek yang suka ngopi itu hanyalah cewek yang aktif saja, benarkah begitu? Waalahualam.

Salam-

R. Leikawa
Sambil menunggu waktunya sahur
Selasa, 21 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun