Mohon tunggu...
Antonius Rusbono Banu
Antonius Rusbono Banu Mohon Tunggu... -

Laki-Laki, Beristri satu dari dulu, hobby bersih2,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama featured

Arswendo Atmowiloto, Si Dahsyat yang Sederhana

27 November 2013   20:01 Diperbarui: 19 Juli 2019   19:49 4059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah Anda jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini:

- Benarkah tempat tertinggi dan terendah terdapat di Benua Asia?
- Apakah benar ketika pemberian Piala Oscar si announcer akan mengucapkan kalimat: “And the winner is……”?
– Apakah benar Gunung Pelangi terdapat di Amerika Latin?

Semua pertanyaan di atas dilahap habis oleh Arswendo, pada saat kuis Penantang Terakhir-nya Helmi Yahya di Metro TV, suatu hari di hari Minggu. Kebetulan saya agak telat nontonnya, sehingga hanya melihat pada pertanyaan-pertanyaan terakhir tadi. Karena skornya tertinggi dibanding peserta-peserta lain ia mendapat hadiah utama 20 juta rupiah.

Jawaban-jawabannya sangat cerdas. Ia tidak hanya menjawab dengan benar atau salah, yang amat mungkin tebak-tebak manggis, tapi ia menjawab dengan penjelasan. Yang pertama jawabannya "benar", karena yang tertinggi Himalaya (> 8.000m), yang terendah laut mati (<-300m).

Yang kedua, jawabannya "salah", karena pengucapannya “and the Oscar goes to…..”. Yang ketiga yang merupakan jawaban penentuan, kalau gagal hadiahnya dipotong 50%, tapi kalau benar ditambah 100%.

“Ah yang kayak gitu ditanyain ya pasti salah lah”. Memang salah, karena Gunung Pelangi terdapat di Cina.

Kecerdasan itu diturunkan, kata orang. Ya mungkin saja. Sayangnya ia sudah ditinggal ayahnya ketika masih SD, kemudian disusul ibunda saat ia duduk di bangku SMA. Sehingga ia yang semula bercita-cita ingin menjadi dokter, karena ketiadaan biaya, akhirnya harus hidup dari menulis.

Pada usianya yang menginjak 65 tahun, energinya, daya pikirnya, daya ingatnya, pun mukanya, sepertinya  tidak ada perubahan dibanding saat saya bertemu pertama kali berpuluh tahun lalu.

Saat itu, meski sebagai Pemred Majalah HAI dan Tabloid Monitor, ia tampil apa adanya. Sepatu sendalan, kaos t-shirt lusuh, rambut tak tersisir. Tapi namanya kharisma ya, tetap saja gemetar kalau diajak ngomong sama dia. 

Saat itu ia, Mas Wendo, adalah Pemimpin Redaksi Majalah HAI dan Tabloid Monitor, bagian dari Penerbitan Gramedia yang jumlahnya puluhan ketika itu. Tapi ia bukan pemred biasa, karena oleh perusahaan dia juga diangkat menjadi salah satu direktur dari 3 direktur yang ada. Dengan bawahan yang mencapai puluhan ribu orang, tentu direktur dianggap "dewa", sesuatu yang amat tinggi bagi karyawan, termasuk saya yang cuma staf pemasaran, masih baru lagi.

Direktur sih direktur, tapi tetep aja sepatu sendalan, kaos t-shirt lusuh, rambut tak tersisir. Tapi namanya kharisma ya, tetep aja gemeter kalau diajak ngomong dia. Gemeter tapi maknyus. Alangkah senangnya kalau diajak ngobrol, serasa diuwongke.

Mungkin karena pengalaman hidup dan intelejensinya, tidak pernah habis tuh bahan obrolan. Kalau ada Mas Wendo suasana jadi rame, ada aja celetukan-celetukannya yang diucapkan agak berteriak. “Dahsyat, dahsyat, dahsyat,” itu kata yg paling sering terdengar.

Suatu ketika Mas Wendo datang ke Surabaya, melihat-lihat pemasaran di Jawa Timur. Setelah mendapat penjelasan singkat tentang kondisi keagenan di sana, Mas Wendo mengunjungi sendiri bursa majalah di sebuah gedung tua peninggalan Belanda dekat Tugu Pahlawan. Ngobrol-ngobrol sebentar dengan para agen. Tidak pernah terlihat ada bawa buku catatan di tangannya.

E..e… gak tahunya pada terbitan Kompas, satu atau dua hari kemudian, muncul deh beberapa seri tulisan, dalam bentuk feature pula, tentang keagenan di Jawa Timur. Baik itu agen-agennya, sifat oligopolinya, jalur pemasarannya, kendala-kendalanya, bahkan gedungnya pun terbahas. Sampai sebegitunya, pengamatan singkat tapi bisa detail tercerna, bahkan jadi tulisan lengkap.

Kunjungan itu sebenarnya bertepatan dengan kecelakaan truk yang membawa salah satu produk Gramedia, majalah Jakarta-Jakarta. Truk masuk ke sawah di sekitaran Tuban pada saat menuju Surabaya. Dari sekian ribu majalah ada beberapa koli, jumlahnya tidak sampai 200 eksemplar, yg kondisinya benar-benar rusak karena terkena lumpur.

Ketika kutunjukkan majalah-majalah yang rusak itu, apa yang terjadi di luar ekpektasiku. Ia menitikkan air mata, tidak berkata apa-apa. Belakangan kutahu, ia sedih karena kerja keras wartawan menjadi sia-sia.

---

Tulisan ini kuniatkan untuk menghormati orang yang kuanggap hebat tetapi tetap bersahaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun