Dibangun di deretan ujung dekat persawahan menjadi nilai tambah yang membuat betah akan suasana ketenangan. Udara segar bebas polusi begitu bebas dinikmati, pemandangan hijau dan pohon kelapa menjulang seakan mengharapkan saya suatu hari nanti kembali bertandang.Â
Namun, saya tak menyangka rumah yang setahun lalu saya tinggali selama delapan bulan ini kondisinya memprihatinkan. Saya sempatkan untuk mampir dan mengambil gambar meski dengan mata yang berkaca-kaca.Â
Rumah itu mempunyai sejarah dan menorehkan banyak kenangan manis yang membekas di hati saya. Entah mengapa hari demi hari saat itu saya selalu riang. Dari situ awal cerita bermula, meski meski kami dipertemukan tidak tatap muka, namun ini soal rasa yang berpapasan lalu saling merasa nyaman dan akhirnya sama-sama memutuskan untuk tinggal. Terkesan lebay memang, tetapi itulah kenyataannya.Â
Saya emosional sekali melihat kondisinya yang sekarang terbengkalai tidak terawat. Rasanya tak bisa menahan kesedihan dan terngiang keceriaan menjalani hari-hari penuh semangat di rumah yang bercat putih ini pada saat itu.Â
Waktu satu tahun seakan bisa merubah segalanya.Â
Pada pertengahan maret 2023 tahun lalu saya memutuskan untuk pulang dan melangsungkan pernikahan satu minggu sebelum ramadan tiba, serta menunaikan ibadah puasa di rumah bersama istri.Â
Terkesan buru-buru memang, tapi itu mungkin sudah menjadi ketetapan-Nya. Kurang dari tiga bulan dari awal kenal sampai legitimasi sebuah hubungan antara dua insan itu terlaksana.Â
Memang benar pepatah mengatakan 'kalau jodoh tidak akan kemana' setidaknya saya mengalaminya, bahkan terasa seperti mimpi.Â
Dari kisah ini saya bisa mengambil banyak pelajaran hidup tentang makna bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang ini. Sesuatu yang saat ini kita anggap biasa-biasa saja memilikinya hingga luput untuk mensyukuri, bisa jadi di kemudian hari akan kita tangisi karena telah hilang dan pergi.Â