Kenangan kebersamaan bersama keluarga saat lebaran takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang telah terlewati saat masih anak-anak hingga dewasa selalu membekas di hati.
Hari Raya Idulfitri selalu dinanti sebagai muara rindu berkumpulnya anggota keluarga setelah sekian waktu tak bertemu. Kerinduan itu seperti terasa sesak didada mendesak mengharap sua.
Kebersamaan di hari raya selalu dirayakan dengan berkumpul dan makan bersama keluarga besar dikampung halaman. Hangatnya makanan, sehangat kebersamaan keluarga menjadikan momen lebaran semakin indah dan sulit terlupakan.
Sejak tahun 2006 silam, saya tidak pernah merasakan lebaran berkumpul bersama orangtua. Dari empat bersaudara kami tinggal terpisah beda daerah, dan satu-satunya momen kebersamaan hanya terjadi pada saat lebaran.
Beberapa aroma, terkadang bisa bertindak sebagai mesin waktu. Menarik kembali ke waktu yang sudah lalu, di mana ingatan langsung muncul ketika indera penciuman menangkap aroma khas masakan sang ibu saat itu.
Masakan ibu saat lebaran begitu memorable, meski dimasak dengan tungku dari batu-bata dan kayu bakar, namun sudah bertahun-tahun berlalu, aromanya selalu membangkitkan rindu serta kenangan pada rumah tempat saya lahir dan dibesarkan.
Hari Lebaran identik dengan masa kecil, kesederhaan, dan kehangatan keluarga. Dari itu, kampung halaman selalu terasa spesial.Â
Sepeninggal kedua orangtua dan kakak yang pertama, saya selalu berkunjung ke saudara laki-laki nomor dua yang tinggal di Semarang ketika lebaran, kebetulan dia menetap dan didapuk menjadi imam di salah satu masjid di daerah Gayamsari.Â
Hari Raya tahun ini bagi saya terasa amat pilu. Satu persatu, orangtua dan kakak telah berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. Entah mengapa sebagai anak bungsu terkadang saya merasa cengeng terhanyut kesedihan kehilangan sosok-sosok yang selalu memberi perhatian juga nasehat dari sejak anak-anak hingga dewasa. Terlebih, di saat Hari Kemenangan tiba dengan diiringi suara takbir berkumandang linangan airmata ini menetes tak terelakkan.Â
Meski dari remaja terbiasa hidup di perantauan dengan berbagai kondisi senang dan susah, namun saya tegar dan tabah menjalani. Kala Idulfitri datang rangkain-rangkain kenangan masa lalu kembali berpadu mengingatkan peristiwa tempo dulu.Â
Biasanya setelah beberapa hari lebaran kakak saya yang nomor dua sering mengajak silaturahmi sowan ke para Kyai. Karena kebetulan saudara kandung kedua saya ini alumni 80'an dari salah satu Ponpes Tahfidz  Al-Qur'an yang ada di Kota Kudus. Namun, tahun lalu kakak telah pergi untuk selamanya.
Memiliki saudara kandung seorang kakak, dan saya sebagai adik bungsu bukanlah sebuah kebetulan. Kehadiran saudara kandung, telah memberikan banyak sekali warna dalam hidup saya, baik ketika masih kecil maupun saat sudah dewasa.
Hubungan saudara kandung tidak dibuat-buat dan selalu apa adanya. Karena kita bertumbuh bersama mereka, dengan orangtua, kenangan, dan pengalaman yang sama.
Kini kami hanya tinggal berdua dan berbeda kota, sebagai seorang adik saya akan selalu menyempatkan untuk berkunjung dan melepas rindu. Dari kakak perempuan ini cerminan dari almarhumah ibu begitu jelas terlihat. Seorang  perempuan yang penyayang, ikhlas, dan baik hati.Â
Buat saya, hubungan yang hangat dan kuat itu bukan hanya karena ikatan keluarga semata, namun juga effort untuk meluangkan waktu bersama. Dengan berbagai kesibukan masing-masing, quality time bersama sesingkat apa pun harus diluangkan.Â
Sahabat bisa dicari, tapi anggota keluarga tidak bisa terganti. Meski kesibukkan bekerja atau membangun usaha  membawa pergi begitu jauh dari kakak. Terlebih dengan adanya teman dan pergaulan baru, makin sedikitlah waktu berkunjung untuk mereka.Â
Saat saudara kandung masih ada, mungkin waktu yang sedikit itu terasa biasa saja. Tapi saat mereka pergi, barulah rasa kehilangan itu menghampiri, namun sayangnya waktu tak bisa ditarik kembali.
Keluarga adalah salah satu anugerah dari Tuhan yang tak ternilai. Rawatlah. Tidak ada hal yang terbaik saat mereka masih ada, kecuali memupuk terus tali silaturahmi. Hal terindah dalam hidup ini adalah kerukunan dan kebersamaan.Â
Hari Raya Idul Fitri sebagai epos penyempurna setelah puasa Ramadan, menjadi sangat berarti ketika kemerdekaan kembali direngkuh.
Terlepas dari itu semua, bukan tidak mungkin sesama saudara kandung pernah terjadi cek-cok karena suatu permasalahan atau kesalah pahaman. Meski begitu, saat berjauhan kerinduan itu selalu muncul. Perasaan dari hati yang tulus menyeruak sebagai wujud rasa sayang dan rasa tak tega.Â
Lebaran menorehkan makna yang mendalam. Terjalinnya hubungan yang sempat renggang, memaafkan bagi yang memohon ampun atas kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan. Momen sakral begitu sangat mahal bila hanya terlewat begitu saja.Â
Karena manusia sebagai insan yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa. Di hari yang suci menemukan fitrahnya kembali apabila hari kemenangan ini dapat dimaknai dengan memberi dan memohon maaf dengan setulus hati.Â
RuRyÂ
21/04/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H