Cukup itu simpel dan sederhana. Mengapa kebanyakan orang sulit mencapainya?
Cukup identik dengan kondisi di mana seseorang dalam keadaan terpenuhinya segala macam kebutuhan hidup yang bersifat jasmani. Bukan tidak mungkin bila dibicarakan akan menimbulkan perdebatan, karena setiap orang punya alasan dan pandangan masing-masing tentang hal tersebut. Namun, marilah kita sejenak melihatnya secara kaffah.
Seseorang yang di pandang hidup berkecukupan oleh orang lain belum tentu dirinya sendiri merasa cukup. Banyak contoh nyata dalam kehidupan yang memperlihatkan ketidakadanya rasa cukup itu, seperti oknum pejabat yang sering kita lihat di media tersangkut kasus korupsi.
Terpenuhinya materi dan menduduki jabatan bergengsi tidak menjamin seseorang puas dengan apa yang sudah mereka miliki. Kita sering sibuk mendambakan apa yang belum dicapai, namun lupa melihat dan mensyukuri apa yang telah kita miliki.
Bukan saya bermaksud mangajak untuk bermalas-malasan atau berfikir ke belakang. Karena itu justru akan menyimpang dari fitrah kita sebagai manusia yang harus terus berupaya agar menjalani dan meraih kehidupan yang lebih baik.
Saya, atau mungkin siapa saja tak menyadarinya, apa yang kita punya saat ini belum tentu dimiliki oleh orang lain. Entah dari sisi apa, yang bersifat materil atau non materil. Kita ingin ini dan itu, semuanya dan semuanya seakan tak ada akhir. Banyak hal yang kita inginkan di dunia ini yang bersifat duniawi.Â
Jika kita tidak mengendalikan keinginan tersebut maka keinginan itulah yang akan mengendalikan kita. Dari sinilah mengapa kita sulit merasa cukup, karena terus mendambakan apa saja tak berkesudahan.
Jangan terjebak perkara sawang sinawang. Ini salah satu pemicu sulitnya bersyukur dan merasa cukup. "What a man can be, he must be". Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagai macam  dengan mengembangkan potensi serta memperkaya kualitas kehidupan yang pastinya hal tersebut tidak terbatas, karena setiap individu mempunyai  keunikan dan keistimewaan masing-masing.
Kekayaan materi sungguh perlu diperjuangkan, namun tanpa adanya keselarasan kekayaan hati mustahil rasa cukup itu akan terwujud.
Pengalaman  pribadi
Saya bukan bermaksud sok alim juga tidak ada maksud lain. Sebagai orang yang dari kecil hidup morat-marit karena kererbatasan ekonomi keluarga pada waktu itu banyak pesan dan pelajaran yang saya petik.Â
Sejak usia lima belas tahun saya sudah mulai merantau, dimana teman-teman sebaya masih sekolah saya sudah bekerja mengais rupiah. Puluhan tahun hidup di perantauan berpindah-pindah kota dan pulau memberiku tak hanya kesan, tapi juga pesan-pesan kehidupan  yang mendalam.Â
Dulu merasa malu sekali dan rendah diri karena kererbatasan pendidikan, saya merasa tak bisa berbuat banyak untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang saya inginkan. Seiring berjalannya waktu dan proses yang panjang diri ini pun berubah, terutama mindset melihat dunia yang lebih luas.Â
Saya tersadar, ilmu hidup yang saya dapatkan selama ini tak pernah bisa didaptkan di bangku sekolah formal. Tak ada istilah jalan pintas atau kebut semalam dalam meraih kesuksesan, pengetahuan, dan juga pemahaman hidup yang mendalam. Jalan berliku ujian datang silih berganti selalu mewarnai.
Sungguh mata pelajaran hidup yang tersulit itu legowo atas apapun yang sudah dilalui dan tahu bersyukur atas apa yang sudah kita raih saat ini. Betapa kekayaan yang sesungguhnya bukan berada diluar diri, namun ia ada bertahta di dalam sanubari. Seperti kebahagiaan yang  bersemayam di alam rasa bagi jiwa  yang merasakannya.Â
RuryÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H