Jika boleh jujur, ini adalah kekurangan dan kelemahan kita selama ini. Memahami entitas "iqra" (bacalah/membaca), dimana membaca bukan hanya yang tersurat. Lantas bagaimana membaca yang tersurat saja kita malas, bagaiman membaca yang tersirat?
Kekurangan yang semestinya kita benahi, karena sudah menjadi emergency reading di zaman yang makin pesat dan tentu mengkhawatirkan. Mungkin bagi sebagian mereka yang beruntung mengenyam pendidikan sampai jenjang tinggi jangan menganggap hal ini sepele, dan selalu memberikan sumbangsih menularkan virus literasi kepada masyarakat agar budaya "salah-kaprah" bisa diredam. Coba Anda membayangkan bagaimana menjadi seseorang yang hanya "lulusan SD" yang merangkak dan berdarah-darah berperang melawan ketertinggalan informasi, bukan dilatarbelakangi kemalasan belajar tapi keterbatasan ekonomi keluarga yang morat-marit. Dan orang itu adalah saya sendiri.
Untuk memerangi wabah "salah-kaprah" dalam mencerna informasi memang perlu belajar yang terus-menerus tanpa henti, karena seiring berkembangnya tekhnologi sudah pasti akan mengalami perubahan dan pembaharuan, termasuk dalam penyampaian informasi itu sendiri. Meski diputar-putar balik, namun jika kita berpegang pada sumber dan aturan yang jelas kita akan terhindar dari kegagapan.Â
Ahmad Rury
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H