Mohon tunggu...
Rurry PrimaWulansari
Rurry PrimaWulansari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

apa ya bingung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Era Digital: Jembatan atau Jurang? Analisis Kesenjangan Digital dalam Masyarakat

1 Desember 2023   22:06 Diperbarui: 1 Desember 2023   22:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi dan internet yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah dinamika masyarakat dalam menyajikan beragam kemudahan dan kemajuan untuk kehidupan masyarakat modern. Berbagai layanan dan fasilitas baru kini lebih banyak didapatkan melalui platform digital, mulai dari pendidikan dan pembelajaran, bekerja, berbelanja, kesehatan, hingga akses informasi dan hiburan. Inovasi kreatif lewat platform digital seperti e-commerce, fintech, hingga platform konten online menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi negara-negara maju sekaligus berkembang. Namun, fenomena evolusi digital ini berjalan paralel dengan munculnya kesenjangan digital (digital divide) yang makin melebar antar lapisan masyarakat.

Kesenjangan digital berdampak serius karena memperlebar jurang ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik. Oleh karena itu kesenjangan digital menjadi fokus analisis yang mendalam, menggambarkan kondisi di mana terdapat divisi signifikan antara sebagian masyarakat yang mampu mengadopsi dan melek teknologi digital dengan mereka yang masih kesulitan mengakses atau memanfaatkannya. Di negara berkembang seperti Indonesia, tantangan aksesibilitas dan literasi teknologi masih dirasakan oleh banyak penduduk, terutama di daerah pedesaan, kelompok lanjut usia, masyarakat miskin, dan yang berpendidikan rendah. 

Sebaliknya, penduduk perkotaan dan kalangan menengah ke atas relatif lebih mudah mengadopsi teknologi digital terbaru dan memperoleh literasi digital yang memadai. Ibarat sebilah pisau bermata dua, era digital dapat menjadi jembatan yang menghubungkan masyarakat lintas batas, namun di sisi lain dapat pula membentuk jurang lebar di kalangan masyarakat itu sendiri. Menurut laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2022, penetrasi pengguna internet di Indonesia baru mencapai 76,8% dari total populasi. Artinya, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum menikmati akses internet dan teknologi digital.

Faktor geografis, demografis, dan sosial ekonomi memainkan peran utama dalam membentuk kesenjangan digital. Wilayah terpencil seringkali mengalami kendala akses listrik dan internet, sementara tingkat pendapatan dan pendidikan cenderung lebih rendah. Di tingkat global, negara-negara maju mencatatkan adopsi teknologi digital tertinggi, sedangkan negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin masih berkutat dengan kesenjangan digital yang cukup luas antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakatnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis lebih dalam fenomena kesenjangan digital yang terjadi dalam masyarakat, baik global maupun nasional. Khususnya dalam konteks bagaimana era digital saat ini berpotensi 'menjembatani' atau justru 'melebarkan jurang' dalam berbagai dimensi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hasilnya dapat digunakan sebagai rekomendasi kebijakan dalam rangka mengatasi masalah ini.

B. Pembahasan

Akses Terhadap Teknologi

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2021, baru sekitar 64% atau sekitar 67 juta rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap perangkat digital seperti komputer dan laptop. Artinya masih ada sekitar 38 juta rumah tangga yang belum memiliki perangkat digital pribadi. Adapun akses terhadap internet, baru sekitar 73% rumah tangga atau sekitar 76 juta rumah tangga yang terhubung internet. Angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang akses internetnya sudah mendekati 100%.

Secara geografis, akses teknologi informasi di Indonesia masih sangat tidak merata. Di wilayah perkotaan, akses internet sudah hampir menyeluruh dengan tingkat penetrasi mencapai 80-90%. Namun di wilayah pedesaan dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), aksesnya masih sangat minim dengan rata-rata di bawah 40%. Selain itu, kualitas sinyal dan kecepatan internet di luar kota-kota besar juga kerap dikeluhkan masih buruk. Hal ini menghambat penggunaan aplikasi dan layanan digital yang membutuhkan koneksi broadband.

Faktor utama yang menjadi penyebab minimnya akses teknologi informasi ini adalah faktor ekonomi. Harga perangkat seperti laptop dan smartphone serta biaya berlangganan internet yang masih relatif mahal sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat kelas bawah dan menengah Indonesia yang berpenghasilan rendah. Selain itu, kurangnya infrastruktur juga menghambat perluasan akses internet ke pelosok nusantara.

Kemampuan Teknologi

Selain akses yang terbatas, kesenjangan digital Indonesia juga nampak pada minimnya kemampuan menggunakan teknologi digital. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2021 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna internet Indonesia baru pada tataran konsumsi konten digital, seperti menonton video, mendengarkan musik daring, atau berselancar di medsos. Sementara itu pemanfaatan internet untuk hal produktif seperti bekerja, berjualan, mengakses layanan publik, atau mengurus administrasi secara daring masih sangat minim.

Tingkat literasi atau melek digital ini berbanding lurus dengan latar belakang pendidikan pengguna. Semakin tinggi ijazah yang dimiliki seseorang, semakin tinggi kemungkinannya untuk lebih mahir memanfaatkan teknologi digital. Sebaliknya bagi mereka yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, kemampuan berinternetnya cenderung sangat terbatas. Ini menjadi tantangan serius mengingat sebagian besar angkatan kerja Indonesia berpendidikan relatif rendah.

Manfaat dan Dampak

Pemanfaatan teknologi dan internet sebenarnya dapat memberikan banyak manfaat, mulai dari akses informasi, memperluas jangkauan komunikasi, hingga membuka peluang ekonomi yang lebih besar. Sayangnya manfaat ini belum dapat dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Apabila tidak ditangani dengan baik, kesenjangan digital ini berisiko semakin melebarkan ketimpangan sosial ekonomi di tanah air. Kelompok masyarakat yang sudah "melek digital" dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf ekonominya. Sementara mereka yang kurang beruntung, akan semakin tertinggal. Dalam jangka panjang, kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan polarisasi sosial yang semakin tajam antarkelompok masyarakat digital proficient dan digital illiterate.

C. Studi Kasus

Sebagai studi kasus, diambil contoh implementasi program Palapa Ring yang bertujuan menyediakan infrastruktur serat optik di seluruh wilayah Indonesia. Program ini diharapkan dapat memperluas akses internet berkecepatan tinggi hingga ke pelosok nusantara.

Dampak program ini cukup signifikan dalam mempersempit kesenjangan digital antarwilayah. Di Kabupaten Jayawijaya, Papua, misalnya, tingkat adopsi internet rumah tangga melonjak dari 12% menjadi 68% dalam kurun 2 tahun setelah Palapa Ring terealisasi. Kualitas sinyal dan kecepatan internetnya pun jauh lebih baik, memungkinkan penggunaan aplikasi dan layanan digital yang sebelumnya terhambat.

Sayangnya peningkatan infrastruktur ini belum diimbangi dengan literasi digital yang memadai. Survei menunjukkan masyarakat di sana baru memanfaatkan internet untuk hiburan dan media sosial. Adopsi e-commerce, e-banking, e-learning dan e-government masih sangat rendah. Ini menunjukkan masih lebarnya gap digital skills warga.

Tanpa upaya pengembangan kapasitas yang memadai, kemajuan teknologi berisiko memperlebar ketimpangan soaial ekonomi. Masyarakat perkotaan yang sudah literat dengan cepat mengambil kesempatan ekonomi dari internet. Sementara warga desa yang "tertinggal" hanya menjadi konsumen produk digital, bukan pemain ekonomi digital itu sendiri.

Gap digital ini berpotensi pula melebarkan ketimpangan political power antar kelompok masyarakat. Elite politik kota dengan gencar menggunakan media sosial dan platform digital untuk kampanye dan propaganda. Sementara warga desa tak berdaya menghadapi - apalagi melawan - arus informasi satu arah ini. Akibatnya netizen perkotaan makin mendominasi wacana publik, sementara suara grassroot communities semakin tersisih.

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa kemajuan teknologi informasi bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, era digital memberi peluang ekonomi dan jangkauan politik yang lebih besar bagi warga negara. Tapi di sisi lain, ia juga mengancam memperlebar ketimpangan sosial, ekonomi dan politik, jika tidak dikelola dengan bijaksana. Dibutuhkan terobosan program digital literacy dan capacity building bagi kelompok marginal untuk menjembatani - bukan melebarkan jurang - antar warga negara di era teknologi informasi ini.

Faktor Penyebab:

  1. Ketimpangan distribusi infrastruktur digital antar wilayah perkotaan dan pedesaan.
  2. Rendahnya literasi digital masyarakat di wilayah tertinggal seperti desa dan daerah terpencil.
  3. Lemahnya kemampuan masyarakat desa dalam memanfaatkan teknologi untuk kegiatan ekonomi produktif.
  4. Timpangnya akses dan penguasaan wacana politik digital antara kelompok elite perkotaan dan warga desa.

Solusi dan Rekomendasi:

  1. Melanjutkan program pengembangan infrastruktur TIK hingga ke wilayah 3T dengan skema kontribusi langsung maupun KPBU.
  2. Menyelenggarakan kampanye dan pelatihan digital literacy yang merata bagi warga desa dan wilayah tertinggal lainnya.
  3. Memberdayakan komunitas lokal melalui pendampingan pemanfaatan teknologi untuk kegiatan ekonomi produktif seperti pemasaran daring dan e-commerce.
  4. Mendorong partisipasi publik warga desa dalam wacana politik digital melalui media sosial untuk menyeimbangkan dominasi suara kelompok perkotaan.
  5. Menginisiasi terbentuknya forum lintas pemangku kepentingan guna berkoordinasi dan berkolaborasi mempersempit kesenjangan digital antar wilayah dan kelompok masyarakat Indonesia.

D. Kesimpulan

Studi kasus mengenai dampak program Palapa Ring menunjukkan bahwa peningkatan infrastruktur digital belum otomatis diikuti pemerataan manfaatnya tanpa adanya literasi digital yang memadai.

Masyarakat desa yang 'tertinggal' digital hanya menjadi konsumen produk digital semata, bukan pelaku ekonomi digital itu sendiri. ini berpotensi melebarkan ketimpangan ekonomi antar wilayah.

Dominasi wacana politik digital oleh kelompok elite perkotaan mengancam keberagaman suara dalam ruang publik digital. Suara warga desa yang minim literasi digital berisiko tersisih dan tidak terwakili.

Oleh karena itu, tanpa dukungan program literasi dan capacity building digital yang memadai, kemajuan infrastruktur teknologi justru berisiko memperlebar jurang digital dan ketimpangan sosial-ekonomi-politik antar kelompok masyarakat.

Dibutuhkan kerja sama pemangku kepentingan untuk memastikan pemerataan akses dan kemampuan pemanfaatan teknologi digital agar menjembatani seluruh masyarakat tanpa kecuali, bukan semakin melebarkan jurang yang sudah ada selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun