Mohon tunggu...
KAVA
KAVA Mohon Tunggu... Freelancer - a reader

Pasukan hujan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketupat Simbok

12 September 2014   21:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:52 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketupat Simbok

Untuk Ayah yang tak pernah kulihat, untuk Ibu, aku merindukanmu. Untuk dua malaikatku, Simbok dan Simbah, aku menyayangi kalian..

Langkah kakiku semakin melambat. Kulihat Simbok duduk di depan tungku sambil meniup perapian yang semakin meredup dengan semprong. Keringat yang mengalir bebas di dahinya, sesekali ia usap dengan tangan  kiri.  Aku yang terpaku di balik pintu, hanya memandanginya penuh syukur. Ya Tuhan, lebaran tahun ini, ia menginjak usia senja. Angka 87 adalah angka syukur atas karunia-Nya.

“ngrebus apa sih, Mbok?” aku mendekat padanya.

ketupat. Sudah, sana ke depan! Disini panas,” Simbok menyuruhku pergi.

“ah, Simbok nih. Yaudah,” aku berlalu meninggalkan Simbok sendirian.

Enam belas tahun sudah aku hidup bertiga dengan Simbok dan Mbah Kakung. Gubuk reot sejak aku dilahirkan dulu, kini menjadi ruumah kokoh layak huni. Ibu dan Pakde yang membangun rumah ini untuk kami huni.

Semua kerabat sudah berkumpul di ruang keluarga. Mbah kakung yang duduk di kursi ujung ruangan, sedang bersalaman dengan Pakde yang baru saja datang dari Jakarta. Kemudian di belakang Pakde, anak dan istrinya mengantri untuk bersalaman dengan Mbah Kakung.

“dimana Ibumu? Semua saudara sudah datang. Apa dia tidak pulang lagi?” Suara Simbah yang lirih mengetuk gendang telingaku.

“aku tidak tahu,” jawabku singkat.

“telfon sana!” Simbah menyuruhku, tapi aku menolak.

Sejak Ayah meninggal enam belas tahun lalu, tiga tahun kemudian Ibu menikah dengan seorang pengangguran yang entah darimana asalnya. Waktu itu, aku masih dua tahun. Belum bisa menolak dan berkata tidak. Tapi aku sudah bisa merasakan apa yang terjadi, bahwa cinta Ibu, perlahan mengikis untukku. Sejak itu juga, aku dirawat oleh Simbok dan Simbah. Dengan penuh cinta mereka menggendongku, membuatkan aku susu, menenangkanku ketika aku menangis merindukan Ibu. Pun juga ketika aku demam, mereka terjaga semalaman untuk duduk di sampingku. Ah, manis sekali saat-saat seperti itu.

“jangan begitu!” Simbah membuyarkan lamunanku.

Tapi aku memilih untuk pergi dan keluar. Kulangkahkan kakiku menuju langgar depan rumah. Lebaran tahun ini, sama seperti lebaran tahun kemarin dan kemarinnya lagi. Tanpa ibu, dan selalu begitu.

“Tri, Lastri, ketupatnya sudah matang. Cepat kesini!” Simbok membawa ketupat yang baru saja diangkat dari tungku dan disiapkan di baki.

“ya!” Aku berlari menghampiri simbok yang berjalan menuju ruang keluarga.

Simbah mendapat giliran pertama mengambil ketupat. Asap panas yang keluar dari ketupat itu seperti melambaikan tangan sembari berkata, -makan aku! Kesinilah, sayang- hahaha. Memang sangat lucu, tapi begitulah kenyataannya. Ilham, sepupuku yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah saja, masih berebut dan tidak sabar mendapatkan giliran untuk mengambil ketupat.

Semua masih sama. Berbaris untuk mengantri ketupat masakan Simbok. Simbok hanya tersenyum puas atas penyambutan hangat dari cucu-cucunya. Rendang bersama ayam gula manis menemani ketupat itu dengan suka cita. Kerupuk merah yang terbuat dari ketan juga sangat nikmat untuk dicicipi. Simbok selalu tahu kesukaanku. Ia tak pernah lupa memasak kare ayam dengan banyak kecap dan sedikit cabe dan daun seledri diatasnya. Tak lupa air putih hangat agak panas untuk menambah kelengkapanku dalam menyantap ketupat lebaran.

Hap! Giliranku mengambil ketupat. Kuiris sedikit demi sedikit. Simbok meraih senok dan mengambilkan kare untukku. Jemari yang sudah keriput itu dengan sigap meraih gelas berisi air putih hangat agak panas yang setiap tahun selalu kupesan. -Terimakasih untuk kasih manis yang kau berikan ini, Mbok.- Aku bergumam dalam hati.

Ketupat ini seperti memori cinta yang selalu terjaga setiap tahun demi tahun. Yang dibuat dengan penuh kesetiaan dan pengabdian tulus untuk keluarga. Diusia Simbok dan Simbah yang menginjak satu abad, aku menyayangi kalian lebih dari ini.

RURI PUTRI KRISWANTO. Penulis abstrak yang selalu Merangkai cinta melalui aksara yang mempesona melalui blog pribadi di www.ruriputri.wordpress.com, dan belajar menulis dengan Komunitas Penulis Anak Klaten (KOMPAK).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun