Ruri Prattycia
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ
Jakarta - Nyatanya pendidikan kita saat ini masih tergolong dalam bentuk suatu ketidaksadaran akan pendidikan yang membebasan. Dalam hal ini masih banyak sekolah -- sekolah yang "membungkam" peserta didiknya tanpa mau mendengarkan cara berpikir kritis mereka mengenai sesuatu permasalahan yang ada.Â
Berdasarkan survei oleh Programme for Internasional Student Assessment atau PISA, Indonesia berada pada peringkat 72 dari 77 negara. Bisa dilihat bahwasannya sangat rendahnya pendidikan kita dibandingkan dengan negara tetangga lainnya.
Pendidikan saat ini pun menajdi sangat terhambat dalam pembentukan karakter dan kualiatas sumber daya manusianya, terlebih dalam pelaksaan mengembangkan rasa kreativitas dan imajinasi yang dibelenggu secara tidak langsung oleh pendidikan. Peserta didik yang umumnya sudah ditindas, direndahkan, diubah menjadi penonton saja, disugestikan dengan mitos -- mitos yang tidak benar adanya, menjadikan gambaran dunia dalam pendidikan sekarang (Freire, 1984).
Dehumanisasi. Kata itulah yang menggambarkan penindasan akibat dirampasnya hak -- hak kemanusiaan peserta didik dan sebuah kemunduran nilai pendidikan. Tidak ada lagi pendidikan yang memanusiakan manusia.Â
Yang ada hanyalah pendidikan untuk kepentingan para elit yang telah menginginkan peserta didik untuk siap bekerja kepada mereka. Seolah -- olah peserta didik hanya dijadikan "sapi perah" yang dibutuhkan tenaganya tanpa memikirkan yang lain. Â
Dalam bukunya yang berjudul Pendagogy Of the Oppressed atau penddikan kaum tertindas, yang mana perlunya kesadaran untuk menyadarkan kaum tertindas akan pentingnya merebut kembali hak yang telah dirampas, dijarah oleh kaum penindas sehingga peran penting dari pendidikan mampu membantu untuk mewujudkan dan mencapai tujuan.
Realita yang adapun dalam proses belajar mengajar masih diterapkannya teacher centered membuat banyak peserta didik menjadi pasif dan hanya menerima begitu saja ilmu pengetahuan yan diberikan. Peserta didik tidak diberi kesempatan yang cukup untuk mengembangkan pola berpikir untuk mempertanyakan apapun yang tidak diketahuinya.
Hal ini berarti menjadikan pendidikan yang tidak bebas dan hanya membelenggu kaum tertindas yang tidak memiliki kekuatan dan kesempatan untuk mengubah kehidupannya.
Seperti yang dikritik oleh Paulo Freire dimana ia mengencam metode belajar mengajar banking concept of education. Melalui cara seperti ini dapat dijadikan alat menindas kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya yang dalam kata lain seperti yang dikatakannya "Education thus become an act of depositing, in which the students are dopositories and the teaher is the depositor" (Freire: 58).
Pendidikan berbasis gaya bank jelas merugikan para kaum tertindas untuk mendapatkan yang seharusnya didapatkan. Ruang gerak dirampas, ruang kreativitas dibatasi, yang dilakukan hanya sekedar menerima, mencatat, dan menyimpan materi yang diberikan.
Freire menggambarkan pendidikan gaya bank dengan karakteristik domestika dan paternalistik, anti dialog, dehumanisasi, satu arah dan menindas intelektual (Sudrajat, 2021: 19).
Guru berperan mengendalikan secara penuh terkait bagaimana cara mengajarnya, bahan ajar yang digunakan, sedangkan murid diperuntukan dalam beradaptasi dengan apa yang diberi oleh guru, murid juga harus menghafal materi -- materi dari guru demi meningkatkan pengetahuannya.Â
Peserta didik akan dianggap atau disamaratakan menjadi "bodoh" maka harus diisi dengan pengetahuan (Jaelani, 2001: 54). Jadi, guru disini sebagai orang yang menabung dan peserta didik sebagai tempat yang ditabung.
Sebelum adanya kurikulum 2013 atau yang kita kenal dengan istilah kurtilas, kurikulum terdahulu cenderung lebih mengarah kepada sistem pengajaran satu arah dari guru, tetapi setelah adnaya kurtilas menjadi angin segar untuk pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, diterapkan nya student centered menjadi solusi dari akibat kemunikasi satu arah dari guru.Â
Student centered sebagai model pembelajaran yang memfokuskan dan menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses pembelajaran, sehingga pembelajaran tersebut akan mengembangkan kreativitas, dan inovasi baru dalam diri peserta didik.
Peserta didik akan lebih aktif saat pembelajaran karena mereka yang dominan dalam pengajaran di kelas. Peran guru dan peserta didik menjadi sama, sebagai subjek dari pendidikan dan saling berkontribusi bersama.
Namun, memang masih banyak pendidikan yang berada di dalam pelosok tidak menerapkan kurtilas sebagai kurikulum belajar disana, karena masih banyak hambatan yang tidak mendukung jalannya pembelajaran, seperti halnya sarana dan prasarana yang ada.Â
Tetapi kendati demikian, kurtilas menjadi cara agar peserta didik dapat aktif mengeksplore dirinya untuk menemukan banyak ilmu dan mengembangkan keterampilan yang ada.
Hal ini dapat dikatakan bahwa sudah terdapat bentuk kesadaran dari pemiminpin negara untuk mengubah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, seperti halnya yang diinginkan oleh Freire dengan menggagas alternatif sebagai jalan keluar, demi mencapai pendidikan yang membebaskan.Â
Tidak ada lagi pendidikan yang membelenggu para kaum tertindas, yang ada adalah pendidikan yang menciptakan kualitas dan kompetensi yang sama rata dan saling memanusiakan manusia.
Referensi :Â
Sudrajat, Asep dan Radea Yuli A. Hambali. 2021. Analisis Filsafat Paulo Freire Terhadap Sistem Pendidikan Indonesia. Jurnal Perspekif Vol. 5 No. 1
Pramudya, Wahyu. 2001. Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire: Antara Banking Concept of Education, Problem Posing Method, dan Pendidikan Kristen di Indonesia. Jurnal Teologi dan Pelayanan.
Aabdillah, Rijal. 2017. Analisis Teori Dehumanisasi Pendidikan Paulo Freire. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol. 2 No. 1. Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI