Terinspirasi dari topografi alam Jawa Barat yang bergunung-gunung, berbukit-bukit, banyak tebing, mata air, sungai, lebak (lembah), dan legok (cekungan), sebuah taman berkelas dihamparkan di kawasan yang semula banyak sampah, berdebu, dan krodit. Taman besi!
Taman lagi, taman lagi. Memang sih. Tapi taman ini boleh lah mendapat pengecualian karena desainnya menurut saya memiliki selera internasional, namun kontras dengan kesederhanaan lingkungannya.
Jangan mengharapkan taman yang hijau, teduh, dengan banyak tanaman dan bunga serta kursi-kursi untuk indehooij. Taman ini justru terkesan gersang, terik (karena saya juga berkunjung pas siang bolong), dan makin lengkap dengan hampir 50% material taman terbuat dari "besi berkarat" yang berkesan panas.
Saya menduga konsep taman sengaja dibuat demikian karena tak terlihat upaya penanaman pohon yang masif, kecuali beberapa batang dari jenis yang berdaun jarang, itu pun ada yang mati. Satu pohon besar menjadi satu-satunya peneduh, namun sepertinya pohon ini telah ada di sana sejak lama.
Konsep taman tampaknya memang disesuaikan dengan ciri khas kawasan yang berada di persimpangan Jalan Jatayu (Jalan Komodor Udara Supadio), Jalan Arjuna, dan Jalan Aruna ini, yakni pasar besi bekas --di mana di tengah persimpangan ini ada bunderan kecil.
Seorang pengunjung menyayangkan bahwa material besi pembentuk taman sudah berkarat. Rupanya banyak yang tak paham bahwa ternyata pihak arsitek taman ini memang sengaja menggunakan lempeng besi yang sudah berkarat setelah melalui proses tertentu, seperti yang sudah saya duga.Â
Taman hampir seluas lapangan sepak bola berbentuk segitiga ini juga dilengkapi fasilitas olah raga. Bukan futsal seperti umumnya Indonesia, melainkan lapangan basket dan arena skateboard yang tampak terlalu modern untuk kawasan sederhana ini. Tak heran jika lapangan basket tetap digunakan main bola, sedangkan arena skateboard sekadar dipakai main perosotan oleh anak-anak penduduk sekitar.
Selain itu, ada musala dengan desain kekinian. Tak jauh dari musala, ada kios-kios penjual makanan dan kelontong. Semula direncanakan ada juga kios-kios bengkel seni dan kuliner, namun aktivitas ini terlihat belum dimulai.
Sejak lama, warga Bandung menyebut kawasan pasar besi ini --termasuk lapak-lapak penjual perangkat kemping dan "army look" yang juga berada di kawasan bunderan kecil tersebut-- sebagai "Jatayu" saja.
Tahun 1990-an saat saya masih suka kemping atau menjadi objek "opspek", pasar Jatayu adalah surga alat kemping berharga miring mulai ransel, sleeping bag, topi rimba, panci kemping, hingga parafin beserta kompornya.
Namun secara umum, keberadaan taman yang diberi nama Alun-alun Cicendo di persimpangan tiga jalan ini membuat suasana kawasan pasar tampak menjadi lebih bergaya.
Selain itu, bagaimana pun keberadaan taman ini setidaknya membuat kebersihan kawasan lebih terawat daripada sebelumnya. Mudah-mudahan bukan karena petugas kebersihan masih dikerahkan di taman yang baru dibuka dua bulanan ini, melainkan karena adanya kepedulian warga sekitar yang meningkat.
Saya ingat, paling malas kalau angkot yang saya tumpangi potong kompas ke jalur ini, antara lain demi menghindari macet. Pasalnya di sini selain memang ada penampungan sampah sementara, juga selalu berdebu kala terik, dan becek saat hujan. Namun kini kawasan ini terasa lebih segar, tak terasa berdebu, bahkan ketika kemarin berkunjungi di tengah siang bolong pun.
Mengenai pasar besi bekas Jatayu ini, di kalangan warga Bandung ada satu cerita dari mulut ke mulut yang agak bersifat miring, yakni: jika ada yang kehilangan pagar besi, onderdil mobil atau motor, dll, buru-buru cari ke Pasar Jatayu. Sepertinya cerita begini juga ada di kota-kota lain di negeri ini.
Terakhir, ada yang agak mengganjal ihwal penamaan "alun-alun" untuk taman ini. Sepengetahuan saya, dan juga seperti yang disebut oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alun-alun secara konsep kota-kota di Jawa, selalu mengandung unsur lapangan, mesjid, serta adanya kediaman bupati/walikota.
Penamaan Alun-alun Cicendo untuk taman besi Jatayu ini sepertinya lebih mengacu pada "plaza" (Spanyol) yakni tempat terbuka untuk umum di perkotaan. Entahlah. Mungkin juga supaya tak berkesan terlalu banyak istilah taman melulu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H