Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memahami Kemanusiaan melalui "Malam", Mohtar Lubis adalah Kuncinya

24 Februari 2018   12:08 Diperbarui: 24 Februari 2018   16:58 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di situ, Wiesel hanya mengisahkan bagaimana dia berusaha untuk tetap lari.  Bagaimana dia memohon pada teman di sebelahnya yang tiba-tiba terserang sakit perut agar tidak berhenti berlari.

Atau harapannya yang sebisa mungkin selalu dekat dengan ayahnya, meskipun kadang dia menjadi tak peduli pada ayahnya karena sangat fokus dengan penderitaannya sendiri. Kondisi kejiwaan ini digambarkan Wiesel terjadi pada semua anak yang ditahan bersama ayahnya.

Wiesel tak membumbui tulisannya dengan amarah, dengan melontarkan kata-kata kasar, atau misalnya mengutuk tentara Jerman, dsb. Dia seolah hanya manusia yang kebetulan bernasib buruk ---saat itu--- karena dilahirkan sebagai Yahudi.

Justru di dalam buku ini dikisahkan bahwa keimanan mereka mulai goyah---betapa pertolongan Tuhan tak juga datang. Sehingga baik Wiesel maupun sejumlah Yahudi lainnya, bahkan seorang rabbi, mulai mempertanyakan, apakah Tuhan ada?

Pertanyaan serupa dengan Mohtar muncul di benak saya. Apakah benar ada orang sebiadab Dr Josef Mengele (dan Nazi secara umum)? Mengele adalah sekutu Hitler yang sempat diidentifikasi Wiesel berada di Birkenau, suatu wilayah yang oleh Wiesel disebut sebagai "tempat penerimaan tamu" bagi Auschwitz.

Kita tahu, peristiwa ala "holocaust & genocide" tidak terjadi pada kaum Yahudi saja. Tahun 1990-an, ribuan Muslim Bosnia dibantai. Sebelumnya, kita bahkan mengenal peristiwa "Killing Fields" di Kamboja. Bahkan di negeri kita sendiri ribuan pribumi mati akibat kebengisan Daendels dan Westerling pada eranya masing-masing.

Dengan kata lain, holocaust & genocide bukanlah monopoli penderitaan kaum Yahudi. Kejadian seperti ini bisa menimpa suku mana saja, agama apa pun, dan bangsa mana pun.

Ada tip yang ingin saya sampaikan bagi muslim yang berminat membaca buku ini: jangan apriori; sudah men-judge padahal belum paham, atau terlalu dikuasai prasangka dan dogmatisme agama. Tip lain, berempatilah; posisikan diri kita di posisi Wiesel remaja yang juga manusia biasa.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun