Lima tahun terakhir ini fenomena alam terasa agak beda bukan? Hujan masih sering turun di musim kemarau, bahkan seringkali disertai hujan es, sehingga muncul istilah "kemarau basah".Â
Serangga penanda kemarau yang disebut turaes oleh orang Sunda (Indonesianya apa ya? Tongeret?) seperti kebingungan: bulan masih Desember, sudah ada yang keluar dari cangkangnya dan mulai berkonser. Di sisi lain, binatang-binatang indikator perbaikan lingkungan, bermunculan.
Belakangan ini, angin kencang juga hampir setiap hari terjadi. Sejak siklon Dahlia mendarat pada Desember 2017, hingga kini, Februari 2018, sudah dua kali rumah saya dibikin kocar-kacir. Atap seng dihempas sampai terbang. Plastik penutup pintu gerbang pecah berantakan.
Suhu pun terasa ekstrem: bisa sangat dingin jika turun hujan seharian, tapi 1-2 hari tak hujan saja udara mendadak dangdut: geraah minta ampun bahkan di malam hari. Padahal ini bicara Bandung yang relatif sejuk.
Seingat saya, awal 2000-an saja cuaca gak gini-gini amat deh. Ini bikin saya percaya bahwa memasuki dekade kedua abad milenium ini, efek pemanasan global mulai berdampak. Meskipun kalau baca berita, para pakar meteorologi dan geofisika menyebutkan hal ini masih normal.
Misalnya, ihwal hujan es, ada pakar yang menyebutkan bahwa meskipun menjadi lebih sering terjadi, tapi masih belum terkait dengan pemanasan global. Tapi ada pula  yang mengatakan "ya".
Sedangkan panen siklon tropis yang terjadi akhir tahun 2017 kemarin, yang antara lain sempat membuat Jawa Tengah bagai kapal karam, disebut-sebut memang terkait efek pemanasan global.
Logikanya, pemasan global membuat tekanan udara di daratan atau di permukaan laut menjadi lebih rendah dengan pola memutar, karenanya angin menyerbu masuk dan menyebabkan badai. Demikian deskripsinya kalau tak salah simak.
Akan tetapi di tengah haru-biru cuaca, ada fenomena yang agak menyenangkan hati, yang justru seolah menandakan sedang terjadi perbaikan kondisi lingkungan. Apakah itu? Yakni bermunculannya binatang-binatang di lingkungan perumahan di tengah kota, termasuk kehadiran serangga-serangga yang menjadi indikator perbaikan lingkungan.
Serangga yang dimaksud bukan macam kecoak, karena kecoak malah dianggap serangga paling tahan banting terhadap polusi dan perubahan iklim, sehingga juga dianggap binatang yang paling mungkin berkembang biak di planet lain. Tak heran jika film-film Hollywood tentang serbuan alien ke Bumi sering mengecoakhitamkan kecoak.
Sedikitnya, ada enam binatang yang dalam 5-10 tahun ini yang kerap muncul di lingkungan rumah saya di Bandung, yang berada di kawasan cukup padat lalu lintas dan karenanya cukup polutif. Seingat saya, binatang-binantang ini mudah ditemukan ketika saya masih kanak-kanak, namun menghilang cukup lama hingga saya sudah "sesenior" ini.
Dua dari binatang-binatang tersebut bahkan dari jenis serangga yang disebut sebagai indikator perbaikan lingkungan, yakni kunang-kunang dan capung. Mari kita rinci:Â
1. Kunang-kunang
Beberapa bulan lalu saya dibikin terkesima dengan kehadiran mereka. Entah berapa puluh tahun saya tak melihat penampakannya di halaman rumah. Saya sempat merekamnya dengan video ponsel dan mempostingnya di akun Instagram, hasilnya bagai lampu kelap-kelip saja. Kunang-kunang adalah serangga yang rentan polusi sehingga kehadirannya dianggap menandakan lingkungan yang sehat.Â
2. Capung
Sama halnya dengan kunang-kunang, capung juga dianggap hewan yang rentan polusi. Dibanding kunang-kunang, kehadiran capung di halaman rumah saya lebih sering. Hanya saja jenis capung yang kerap muncul ini berbeda dengan yang sering saya dapati di masa kecil. Belakangan yang lebih kerap muncul adalah capung merah seperti pada gambar.
Dalam bahasa Sunda, kutilang disebut Cangkurileung atau Sooty headed bulbul dalam Inggris. Seingat saya, burung pekicau ini dulu lebih sering berada di dalam sangkar.
Namun belakangan, meskipun tak terkait langsung dengan tingkat polusi, burung ini intensif hadir di lingkungah rumah saya yang ramai manusia dan kendaraan. Bagi saya ini indikator terkembangnya habitat liar di perkotaan,wicis heuud!
Tak cuma kutilang, kini burung bernama latin Geopelia striata yang menjadi peliharaan Pak Raden di program Unyil (1980-an) ini, juga tampak sering berbaur dengan burung gereja; burung paling umum di lingkungan perkotaan sejak zaman baheula. Sesekali burung penakut ini mencari makan di lantai halaman rumah saya, tapi segera kabur begitu melihat gerakan manusia.
5. Burung Pelatuk
Paling eksotis kalau sudah mendengar suara batang pohon diketuk-ketuk. Aah... si burung pelatuk telah datang. Orang Sunda menyebutnya caladi (Caladi ulam). Hanya saja dia lebih sering muncul kalau ada pohon yang kering, karena di dalam dahan pohon kering sering terdapat larva serangga, makanannya.
Itulah mengapa dia suka mengetuk-ketuk pohon. Tapi warna bulu pelatuk tropis tak semeriah Woody Woodpecker. Dia hampir sewarna dengan pohon. Kadang hanya ada sedikit merah di jambulnya.
6. Tupai
Mamalia yang disebut bajing oleh orang Sunda, belakangan sering terlihat melintas di kabel yang bersilang-silang di atas jalan raya.Mengesalkan ihwal kabelnya meski para tupai memanfaatkannya untuk menyeberang, tapi kemunculan pemilik nama ilmiah Tupaia javanica yang pemalu ini, bagi saya adalah indikasi alam liar mulai tak sungkan berinteraksi dengan kota.
Mungkinkah manusia tak banyak menganggu mereka lagi kini, jadi mereka berani muncul di lingkungan yang ramai. Tapi tentu saja syarat kemunculan mereka adalah banyaknya pohon besar, karena lubang pohon adalah rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H