Sekolah adalah 'Institusi moral' yang dirancang untuk membentuk karakter para warganya. Seorang pemimpin di sebuah institusi atau sekolah akan menghadapi situasi dimana dia harus mengambil keputusan yang mengandung dilema etika, atau berkonflik di antar nilai-nilai kebajikan yang sama-sama benar.
Sebagai pendidik atau Pemimpin diharapkan dapat mengidentifikasi dan memahami prinsip-prinsip etika yang berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan yang disepakati dalam lingkungan pribadi maupun lingkungan profesi.
Terkadang kita dihadapkan pada dilema untuk mengambil keputusan yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang sama-sama menjunjung tinggi nilai kebajikan tertentu, namun tertantang karena keduanya saling bertentangan satu dengan yang lain.Â
Untuk itu penting bagi kita sebagai guru atau pendidik memahami etika dan nilai-nilai kebajikan yang terkandung di dalamnya. Hal ini berkaitan erat dengan sekolah sebagai institusi moral. Sebagai institusi moral sekolah bisa dianalogikan seperti miniature dunia yang berkontribusi terhadap budaya, nilai-nilai dan moralitas dalam diri setiap murid.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin beragam terkadang kepala sekolah atau guru dihadapkan dengan berbagai masalah yang sulit untuk dipecahkan, harus mengambil keputusan yang sama-sama berat karena berhadapan dengan dilemma etika.
Seperti yang saya alami dua tahun yang lalu. Saya mempunyai murid Dido(bukan nama sebenarnya). Â Dido siswa kelas 5 di SDN MajuJaya. Ibunya seorang single parent dengan tiga anak, Dido dan dua adiknya yang masih kecil. Ibunya bekerja sebagai tukang parkir di pasar tradisional dekat rumahnya.
Dido sering tidak masuk sekolah dengan alasan membantu ibunya parkir di Pasar. Setiap pasaran Kliwon dan Pahing Dido bisa dipastikan tidak masuk sekolah. Seperti biasa saya selalu menasehati murid-murid untuk rajin sekolah dan jangan sering bolos.
Saat Dido saya tegur, dia bilang kalau ibunya ahir-ahir ini sakit, "Saya harus mengganti Ibu parkir di pasar Bu", Â Alasan Dido membuat saya trenyuh dan dilema. Di sisi lain Dido menggantikan Ibunya bekerja karena sakit, namun di sisi lain Dido meninggalkan kewajibannya bersekolah.
Keputusan untuk memberikan nasehat berat untuk disampaikan, membiarkan tidak masuk sekolah dalam waktu yang lama juga kliru, tidak membantu ibunya juga salah. Itulah salah satu contoh tentang pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin.
Sesulit apapun keputusan yang harus diambil untuk permasalahan yang sama-sama benar, sebagai seorang pemimpin kita perlu mendasarkan pada tiga unsur yaitu berpihak pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil.
Ilustrasi di atas mungkin hanya salah satu contoh dari sekian pengalaman yang ada di institusi yang kita temui di setiap Lembaga sekolah. Banyak permasalahan dan beragam kasus. Dilema etika adalah tantangan yang harus dihadapi dari waktu ke waktu.
Ketika kita menghadapi dilema etika akan ada nilai-nilai kebajikan mendasar yang bertentangan seperti kasih sayang, keadilan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan hidup.
Ada empat pola atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yaitu :
Satu, individu lawan kelompok (individual vs community)
Dalam pola ini ada pertentangan antara individu lawan kelompok yang lebih besar, dimana individu ada di dalamnya. Pola ini bisa berhubungan dengan konflik antara kepentingan pribadi melawan kepentingan orang lain, atau kelompok kecil lawan kelompok besar.
Misalnya yang sering dialami guru saat kita mengajar di sebuah kelas. Satu kelompok membutuhkan waktu yang lama dalam mengerjakan tugas, sementara ada kelompok lain yang dapat menyelesaikan tugas dengan cepat sehingga mereka sudah siap untuk masuk pelajartan berikutnya. Lalu bagaimana keputusan yang diambil oleh guru? Dalam hal ini guru mengalami dilemma individu lawan kelompok.
Dua, rasa keadilan lawan rasa kasihan(justice vs mercy)
Dalam pola ini, pilihannya antara mengikuti peraturan tertulis atau tidak mengikuti peraturan sepenuhnya. Kita bisa memilih untuk berlaku adil dengan memperlakukan hal yang sama untuk semua orang atau membuat pengecualiaan dengan alasan kemurahan hati atau rasa kasihan.
Seperti yang terjadi pada Dodi, saya mengalami dilema etika rasa keadilan lawan rasa kasihan. Saya tidak bisa memberi sanksi karena rasa kasihan, seandainya saya memberlakukan peraturan mereka yang sering bolos sekolah harus mendapat sanksi. Sehingga saya membuat pengecualian pada kasus Dodi.
Tiga, kebenaran lawan kesetiaan(truth vs loyalty)
Kejujuran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam situasi dilema etika. Terkadang kita mempunyai pilihan yang sulit antara memilih jujur atau setia kepada orang lain. Kita jujur menyampaikan fakta atau menjunjung nilai kesetiaan  pada profesi atau komitmen yang telah dibuat sebelumnya.
Kita mungkin sering mengalami dilema etika seperti ini, antara jujur menyampaikan fakta terhadap kecerobohan teman, atau menyembunyiakan karena kesetiaan. seperti juga saat situasi perang, saat tantara tertangkap harus memilih jujur menyampaikan fakta atau diam karena setia terhadap komitmen.
Empat, Jangka pendek lawan jangka penjang(short term vs long term)
Paradigma yang satu ini sering terjadi. Saat kita harus memilih keputusan yang kelihatannya terbaik untuk saat ini atau terbaik untuk masa yang akan datang. Hal ini sering terjadi baik dalam keluarga, sekolah atau lingkungan masyarakat.
Terkadang dalam keluarga pun sering kita membuat pilihan yang dilema, seperti menentukan belanja harian atau belanja untuk keperluan yang akan datang. Memilih makan bersama keluarga dengan biaya yang tidak sedikit demi mewujudkan keharmonisan dalam keluarga atau menabung uang untuk keperluan yang lebih bermanfaat dalam jangka panjang.
Pun dalam insitusi sekolah dalam merencanakan program juga seringkali membuat pilihan yang dilema, merencanakan program untuk meningkatkan kompetensi guru di bidang teknologi atau merencanakan kegiatan dengan mendatangkan wali murid.
Begitulah kita dihadapkan dalam masalah-masalan yang dilema, mengelola sebuah kebijakan yang menjadi keputusan di atas kebajikan universal, keduanya bernilai baik. Untuk itu sebagai seorang pemimpin, baik itu pemimpin pembelajaran yaitu guru maupun pemimpin institusi sekolah perlu memahami seni  pengambilan keputusan yang berbasis kebajikan.
Wasana kata
Seorang pemimpin pembelajaran atau pemimpin institusi sekolah hatus mempunyai kreativitas dalam pengambilan keputusan. Di mana keputusan tersebut harus berdasar pada nilai-nilai kebajikan universal, berpihak pada murid dan bertanggung jawab sehingga keputusan tersebut diterima semua pihak dan dapat mengambil kebermanfaatan  bersama.
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.
Referensi : Modul 3.1 PGP. Pemimpin Pembelajaran dalam Pengembangan SekolahÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H