Dahulu, saat saya menikah tahun 1992 gaji suami golongan II sebesar Rp. 86.700,- . Apa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mungkin cukup, mungkin juga tidak, buktinya gaji  segitu tidak punya hutang. Seingatku, harga beras waktu itu sekitar Rp.400,-. Dengan gaji segitu saya bisa menabung emas 1 gram(baca emas 18 karat) setiap bulan.
Pasca menikah, saya pun diboyong di rumah kontrakan. Sangat sederhana karena beralaskan tanah. Apakah cukup bahagia, Mungkin iya, buktinya sampai saat ini kami masih berkomitmen bersama.
Dengan gaji segitu, tidak punya tanggungan, seperti bayar listrik, beli pulsa, internet, dan lain-lain. Semua masih alami memasak dengan kompor minyak tanah, lampu masih di gilir dari pukul 18.00 sampai pukul 22.00 WIB.
Jika dibanding dengan kehidupan sekarang sudah jauh berbeda bahkan bisa dibilang 360 derajat. Sekarang zaman yang serba komplek kebutuhan rumah tangga  tidak sekedar makan dan minum, namun lebih kepada bagaimana merancang masa depan yang mapan.
Putri saya yang kedua, sebenarnya juga sudah memasuki usia pernikahan, sebagai ibu, saya juga tidak menyarankan untuk cepat-cepat menikah. Saya lebih menyarankan untuk bekerja dulu, sehingga bisa punya tabungan untuk sangu nanti saatnya bertemu jodoh.
Sebaliknya, Ibu saya dulu menyarankan saya segera menerima jodoh, apalagi saat itu sudah ada yang meminang. Padahal belum tahu apa calon saya nanti bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, karena gajinya bisa di bawah UMR (baca sekarang).
Namun orang tua tidak berpikir sampai sedetail itu, saat usia putrinya sudah dewasa dan sudah ada yang meminang, sudah cukup untuk memutuskan segera menikah, tidak usah menunggu lama, toh pada ahirya juga akan menikah.
Pergeseran pandangan anak muda tentang perkawinan
Seperti yang saya ceritakan di awal bahwa pandangan dan cara berpikir orang tua zaman now berbeda dengan zaman dulu. Saya mungkin termasuk salah satu orang yang memengaruhi faktor menurunnya angka perkawinan, karena saya ingin melihat anak saya mapan dulu.
Selain itu perkawinan bukan hanya siap dalam materi saja namun kesiapan mental juga perlu pertimbangan. Saat sudah memasuki pernikahan maka hari itu juga laki-laki harus bertanggung jawab dengan kehidupan barunya, dia sudah menjadi kepala keluarga dan wajib memberikan nafkah lahir dan batin.
Saat saya menyinggung tentang perkawinan, anak saya selalu berkilah, "Saya menikah kalau sudah bekerja Ma, sementara ini saya akan berusaha sambil terus belajar",