Bahagia adalah impian bagi pasangan suami istri. Dimulai dari perkenalan, dilanjutkan lamaran, hingga melangsungkan pernikahan menjadi hal yang lumrah dalam merajut cinta kasih. Muaranya adalah menjalin rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.
Di awal pernikahan semua akan terasa indah, bulan madu menjadi impian para pengantin baru. Merawat cinta kasih sepanjang usia, menjadi slogan yang harus dibangun sejak awal. Namun ditengah perjalanan, cinta perlu pengorbanan, perlu kesetiaan dan kesabaran.
Dua insan manusia akan diuji sesuai kadar yang Tuhan tentukan. Bahagia selamanya atau harus pupus di tengah jalan. Mempunyai cinta, namun hambar atau penuh intrik tapi tetap mesra.
Kehidupan rumah tangga tak ada yang sempurna bahkan kadar kebahagiaannyapun berbeda-beda, masing-masing mempunyai polanya sendiri-sendiri.
Kerikil tajam dalam keluarga
Adakalanya tampak bahagia dengan glamour, selalu mesra, namun ternyata ada luka yang tersimpan yang tak tampak oleh mata. Sebaliknya jarang berdua, tak pernah bersama, hanya sesekali saat kondangan datang, namun penuh kepedulian satu dengan yang lain, kebahagiaan dimilikinya.
Saya pun pernah mengalaminya. Setiap kita mempunyai kesibukan, saya seorang guru dan giat dalam organisasi kemasyarakatan. Sedang suami bekerja di kantor, pagi berangkat dan sore hari baru tiba di rumah.
Setelah makan malam disiapkan kita makan bareng, dan setelah itu  beristirahat di kamar masing-masing. Itu adalah pola yang selama itu kami lakukan.  Tak ada lagi kemesraan, yang ada kerukunan karena usia pernikahan sudah lebih dari usia perak.
Asah, Asih dan Asuh
Perjalanan cinta sudah terlalui yang ada tinggal saling asah, asih dan asuh. Â Kedekatan suami istri bukan lagi sebatas saya istri dan kamu suami tapi lebih dari itu, terkadang dia Bapak, kakak, bahkan mungkin seperti anak. Demikian juga saya, terkadang seperti saudara, seperti ibu, atau juga seperti anak.
Rumah tangga bukan lagi dia mencintaiku dan aku  mencintainya, Aku menyayangi dan dia menyayangiku, namun lebih pada bagaimana kami bisa mengantarkan anak-anak kami menjadi orang-orang yang bermanfaat di masa depannya.
Komunikasi yang saya bangun bukan lagi tentang kecemburuan dan kesetiaan, namun lebih kepada finansial atau biaya untuk sekolah anak-anak. Bagaimana mengarahkan anak-anak pada study-nya. Mengawal pendidikan mereka hingga ke perguruan tinggi dan pasca kuliah.
Komitmen
Saat pertama kali memasuki gerbang pernikahan saya juga belum akrab dengan istilah komitmen yang ada saling menghormati, dan memosisikan diri bahwa hidup kita harus selaras, sejalan, karena kita punya pasangan hidup yang harus saling memahami.
Dengan berjalannya waktu komitmen bisa terbangun, jika tidak sepakat kita urungkan, jika tidak sepaham kita abaikan. Mengendalikan ego masing-masing sehingga ada kata 'Ayo'.
Jika ada rumah tangga yang hambar karena kurang cinta kasih misalnya, kita lihat seberapa lama usia pernikahannya. Tentu ada fase-fase tertentu dalam pernikahan.
Pertama, fase romatis
 Saat inilah dunia milik berdua, semua di mata pasangan terasa indah. Tai kucing terasa coklat karena masa di mana lagi mabuk cinta.
Kedua, masa adaptasi.Â
Setelah masa romantic lewat maka kita akan melalui masa adaptasi. Mulai mengetahui selera pasangan, apa yang disuka dan apa yang dia benci.
Masa kedua ini sangat penting untuk dipahami, karena saat kita tahu kekurangan pasangan saat itulah kita harus melengkapi, menerima dan memahami karakternya.
Ketiga, fase tantangan.
Tak ada rumah tangga tanpa masalah, semua menjadi bumbu dalam keluarga, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Masalah dalam rumah tangga selalu berbeda.
Ada yang diuji dengan harta dan ekonomi, dengan anak-anaknya, dengan  pasangannya, bahkan diuji dengan orang tua atau mertua.
Keempat, fase menemukan kembali diri dan pasangan
Setelah masa tantangan berlalu, saatnya menemukan kembali diri dan pasangan kita, saling semeleh dan legowo dengan apa yang sedang terjadi. Bersama-sama muhasabah diri bahwa sesungguhnya segala ujian dan cobaan adalah kehendak Tuhan.
Kembali berkomitmen untuk mengeksplor impian bersama dan memperdalam ikatan emosioanal untuk menciptakan pondasi keluarga yang kokoh.
Kelima, fase kebersamaan.Â
Fase di mana kita dapat menikmati hari tua secara bersama-sama. Fase dimana semakin tua usia, semakin matang cara berpikir.
Fase kebersamaan penuh dengan kasih sayang, berkumpul dengan keluarga besar, momong cucu, menjadi kakek dan nenek yang penuh kebahagiaan
Fase di mana kita lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa taala, penuh syukur diberi umur panjang dan keberkahan rezeki.
Bapak dan Ibu, kebahagiaan adalah tujuan utama dalam berumah tangga. Kebahagiaan dapat diraih jika kedua pasangan merasakan kesenangan dan ketenteraman dalam keluarga, maka bersyukur dan menerima
 keadaan adalah kunci utama meraih kebahagiaan.
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat
Referensi :
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H