Jujur saja kalau boleh berpendapat, saya dan rekan-rekan guru yang ada di desa merasa lebih senang dengan Kurikulum KTSP( Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam kurikulum tersebut Mata Pelajaran berdiri sendiri-sendiri. Misalnya ada pelajaran Matematika, IPA, IPS, Pkn dan lain-lain.
Setelah kurikulum KTSP, diganti menjadi kurikulum 13 atau K-13. Sejak adanya kurikulum 13 Mata Pelajaran tidak tampak, karena semua menjadi tematik. Tematik terdiri dari beberapa pelajaran, mulai dari Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PKn dan dijadikan satu kesatuan tema.
Guru menjadi garda terdepan dalam Pendidikan, saat mengajar secara otomatis mengikuti kurikulum yang telah menjadi ketetapan pemerintah. Terlepas itu cocok dan tidak cocok dalam implementasinya di sekolah.
Saat diterapkannya K-13 guru juga dibuat kerepotan saat harus memasukkan nilai di raport. Materinya tematik, namun nilai rapotnya kembali ke mata pelajaran sehingga guru harus memilah dan memilih mana yang masuk pelajaran IPA, mana yang masuk pelajaran IPS dan seterusnya.
Terkadang saat di tanya pada siswa, mereka juga tidak tahu saat disampaikan guru di kelas, tadi gurunya memberikan pelajaran apa ya, Bahasa atau Pkn, karena memang guru menyampaikannya dengan tema. Ironinya saat di rapot penilainnya muncul per-mata pelajaran.
Itulah gambaran saat diterapkannya kurikulum 13. Selain itu guru dituntut membuat perangkat pembelajaran tematik, yang terdiri dari beberapa mata pelajaran, sehingga bisa dipastikan satu rencana persiapan mengajar membutuhkan minimal 15 lembar kertas.
Berbeda jika KTSP karena per-mata Pelajaran maka guru cukup membuat satu rancangan mata pelajaran, Jika pelajaran IPA, cukup membuat RPP IPA, dan seterusnya.
Nah, sejak Menteri Pendidikan Mas Nadiem, Kurikulum diganti menjadi Kurikulum Merdeka, dengan slogan Merdeka Mengajar, Merdeka Belajar. Pelajaran kembali dipisah lagi Bahasa Indonesia, PKn, namun masih ada Mata Pelajaran yang digabung menjadi satu yaitu pelajaran IPA dan IPS, menjadi IPAS.
Rencana Pembelajaran yang katanya dipersingkat menjadi satu lembar tapi kenyataannya guru harus membuat Modul Pembelajaran yang justru menjadi hampir setebal buku materi ajar.