Mungkin naluri perempuan ya, saat pilkada atau pilkades jika calonnya perempuan kok lebih bangga, walaupun saya tidak mengenalnya. Rasanya mewakili eksistensi kaum perempuan. Contohnya tahun 2004-2008, dan 2008-2012 Bupati Kabupaten Tuban adalah perempuan, Ibu Hj. Heany Relawati Rini Widiastuti, M.Si. memimpin Tuban dua periode.
Senang dan bangga saat mempunyai pimpinan perempuan, merasa itu adalah bagian dari kita, kaum perempuan. Sebelum adanya emansipasi wanita, perempuan dianggap rendah, tidak berpendidikan dan hanya konco wingking.
Sebelumnya wanita dipaksa untuk menerima qodrat, tidak boleh berpendidikan tinggi, karena ujung-ujungnya tugasnya hanyalah mengasuh anak, melayani suami dan mengatur rumah tangga. Keterbelakangan perempuan hal yang biasa, karena dianggap tidak layak dan tidak mampu berada di depan.
Namun sejak adanya emansipasi wanita yang digaungkan oleh R.A. Kartini wanita bukan lagi berderajat objek, namun sudah menjadi subjek bahkan adanya kesetaraan gender perempuan mulai memberanikan terjun di dunia politik.Â
Sosok Kartini telah mengangkat derajat kaum hawa, dibalik sosoknya yang lemah secara fisik, namun wanita saat ini sudah berbalik 360 derajat dari zaman kolonial.
Kesetaraan gender yang sudah lama dirintis menjadikan perempuan-perempuan Indonesia menduduki kasta yang tidak hanya sekadar konco wingking suami, namun sudah mempunyai peran ganda. Bukan hanya menjadi ibu rumah tangga namun sudah bisa menduduki peran yang lebih berharga, di pemerintahan dan juga di organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Peran yang dahulu didominasi kaum adam kini kartini-kartini Indonesia sudah melangkah lebih maju, bahkan dalam beberapa hal berkedudukan setara dengan laki-laki.
Saat ini tidak jarang kita temukan pimpinan-pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), jabatan pemerintahan, pimpinan wilayah dan lain sebagainya. Kepala desa, camat, bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden sudah diduduki oleh perempuan-perempuan hebat Indonesia.
Tidak heran jika saat Pilbup dan Pilgub 2024 ini banyak bermunculan dari kaum perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa emansipasi wanita, kesetaraan gender sudah berhasil mengedukasi masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan.
Wanita berpendidikan tinggi sudah eksis di berbagai sektor menduduki jabatan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Bahkan anggota legistatif juga sudah memberikan 30 persen keterwakilan perempuan.
Sudah tidak diragukan lagi munculnya kaum perempuan dalam kontestan pilkada 2024 ini menjadi gerbang kemandirian dan pemberdayaan perempuan untuk menuju Indonesia emas.
Gaya kepemimpianan perempuan berbeda dengan laki-laki, namun demikian perbedaan dalam panggung demokrasi, perempuan menempatkan diri sebagai agen perubahan yang tidak bisa diabaikan. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan mempunyai gaya kepemimpinan yang unik, sesuai dengan karakter masing-masing.
Kembali pada sosok perempuan yang menjadi pemimpin, pengalaman saya saat Bupati Tuban perempuan, saya merasa lebih dekat apalagi pada event-event tertentu. Misalnya saat ada kegiatan kunjungan dan kita hadir di situ, minimal untuk bersalaman saja tidak sungkan dan tidak canggung. Bisa saling berkomunikasi.
Merasa satu chemistry, ada keterwakilan pada setiap kebijakan, cara pandang yang sama dari sisi perempuan terhadap masalah-masalah krusial seperti kekerasandalam rumah tangga (KDRT), perlindungan terhadap anak, dan tentang pendidikan.Â
Munculnya banyak kontestan perempuan bisa membedakan gaya kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengarui oleh beberapa faktor diantaranya:
Satu, budaya organisasi. Gaya kepemimpinan seseorang bisa dipengaruhi oleh nilai dan norma yang dianut saat dia berorganisasi. Pengalaman yang diperoleh menjadi kekuatan kepemimpinannya.
Dua, pengalaman pribadi. Pengalaman hidup dan pendidikan seseorang juga mempengaruhi gaya kepemimpinan. Keduanya berpengaruh saat menjadi pemimpin.
Tiga, situasi kepemimpinan. Tuntutan dan tantangan dan situasi kepemimpinan yang berbeda memunculkan gaya kepemimpinan yang berbeda pula.
Secara umum ada persepsi bahwa laki-laki cenderung dengan gaya kepemimpinan yang tegas, beroreiantasi pada tugas. Mereka sering diasosiasikan dengan gaya kepemimpinan yang lebih direktif.
Berbeda dengan kaum perempuan lebih cenderung dengan gaya kepemimpinan yang kolaboratif, berorientasi pada hubungan, dan lebih memperhatikan keseimbangan antara pekerjaan dan hubungan pribadi. Mereka diasosiakan dengan gaya kepemimpinan yang lebih transformasional.
Perlu diingat bahwa gaya kepemimpinan seseorang adalah perspektif, antara laki-laki atau perempuan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Keberhasilan pemimpin tergantung pada kontek dan kemampaun untuk beradaptasi.
Bapak dan Ibu, sebagai perempuan saya ikut bangga dan mendukung mereka yang maju dalam kontestan pilihan kepala daerah. Bagi saya itu adalah perwakilan kami sebagai perempuan, mereka hebat, karena ingin mendarmabaktikan eksistensi dan kemampuannya untuk Indonesia tercinta.
 Salam sehat selalu, semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H