Wakapolsek yang juga hadir pada acara tersebut memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pemerintah Desa Mulyorejo yang telah melestarikan budaya Jawa, berupa ketoprak.
Hal ini sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia untuk selalu menghormati setiap kebudayaan yang ada karena Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjunjung tinggi peradaban daerah.
Semilir angin tak menjadikan malam itu dingin, suasana malam di musim kemarau justru menjadikan keteduhan. Malam menjadi syahdu, lantunan gending-gending Jawa yang disuarakan oleh tandak menjadikan suasana seperti tempo dulu, lagu-lagu jawa pangkur, dandang gulo menemani suasana malam yang semakin larut.
Rest area yang sebelumnya berupa persawahan menjadi lapangan yang dipenuhi pengunjung, pedagang kaki lima berjajar pada tenda-tenda yang sudah dipersiapkan panitia. Mereka menjajakan dagangannya untuk mengais rupiah yang tidak setiap hari ada momen akbar seperti ini.
Tabuhan gamelan mengiringi siapa saja yang datang. Mereka rata-rata penasaran ingin melihat secara dekat seperti apa para perangkat desa memperagakan tokoh dalam cerita ketoprak tersebut.
Tepat pukul 22.00 WIB ketoprak dimulai, terlebih dulu di tampilkan empat penari sebagai pembuka, di tengah-tengah tariannya terdengar suara letusan kembang api menambah semaraknya suasana malam itu. Gemuruh tepuk tangan meriah memberikan semangat bagi pemain yang akan tampil.
Ketoprak dengan nama Mulyo Budaya tersebut dipimpin oleh Marwan Sukirno, sebagai modin di Desa Mulyorejo
Untuk tampilan perdana ini membawakan cerita "Damar Wulan Ngeratu". Semua perangkat Desa menjadi pemain ketoprak mulai dari Petinggi, Carik, Kamituwo, Bayan, Modin, Petengan, juga karang taruna di Desa tersebut.
Saya dan si Bungsu menikmati tontonan gratis tersebut, hingga datangnya rasa kantuk, Satu jam kemudian tepatnya pukul 23.00 saya pun pulang, walaupun acara belum selesai. Mengingat esok pagi si bungsu harus sekolah. Kabarnya ketoprak akan selesai pukul 01.00 dini hari.