Sudah memasuki bulan keempat Mawardi mengukir hiasan masjid Nurul Huda di Desa Pandean Mulyorejo, masjid di samping tempat tinggal saya. Dibantu dengan dua temannya Rahmad dan Muhyidin ketiganya bekerja keras menyelesaikan ukiran itu.
Posisi masjid dekat dengan rumah sehingga saya bisa ngobrol dengan mereka leluasa. Bahkan saya berkesempatan menyiapkan kopi dan jaminan seadanya jika pas ada di rumah.
Dengan lincahnya jemari Mawardi piawai memainkan tatah, alat ukir yang jumlahnya lebih dari 30 jenis lengkap dengan ukurannya. Setiap ukuran mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Misalnya untuk membuat huruf, bunga, lingkaran, atau motof-motif yang beraneka macam.
Sudah 15 tahun dia bekerja sebagai tukang ukir. Pengalamannya yang sudah bertahun-tahun membuatnya dikenal dan diundang oleh siapa saja yang membutuhkan keahliannya.
Saat saya tanyakan apakah dia pernah sekolah ukir, atau pernah ikut pelatihan? "Mboten nate (tidak pernah)," bahkan, dia mengaku hanya menamatkan sekolah Tsanawiyah saja.
Menurutnya dulu pernah melalang buana sampai di Kota Jepara selama 4 hari, mengamati orang yang sedang mengukir kayu. Setelah itu dia pulang dan mencoba di rumah. Lama kelamaan saya bisa sendiri. Akunya mengenang masa lampau yang pernah ia jalani.
"Wah berarti otodidak ya Lek"
"He... he... gih Bu," jawabnya dengan senyum yang disembunyikan.
Menurut saya, Pekerjaan mengukir berkaitan erat dengan seni dan bakat. Keindahan ukiran dan ketepatan dalam memainkan tatah atau alat ukir di atas kayu memerlukan keahlian yang luar biasa. Tidak semua orang mampu melakukannya.
Saat saya amati, ukirannya sangat detail dan rumit, maklum tulisan Al-Quran sangat sulit dan banyak variabelnya, seperti fathah, dhomah, tasydid, bahkan setiap huruf mempunyai kesulitan tersendiri. Maklum jika upah jasa ukir sangat mahal.
Saya sendiri tidak menanyakan itu, namun terlihat dari kerumitannya, wajar jika dia mendapatkan yang terbaik. Selain Mawardi yang belajar mengukir secara otodidak, hal yang sama juga dialami oleh Rahmad yang juga belajar menjadi tukang kayu secara otodidak.
Rahmad menjadi tukang kayu sejak lulus Aliyah, lima tahun yang lalu. Menurutnya dia banyak belajar dari Bapaknya. "Kebetulan Bapak juga tukang kayu, jadi saya mengamati apa yang Bapak kerjakan, lama-lama saya bisa sendiri," tuturnya saat saya ajak ngobrol.
Alat pasah dari mesin yang bunyinya melengking hingga mengganggu daun telinga itu selalu menemaninya setiap kali bekerja. Rahmad juga tidak pernah sekolah pertukangan. Setelah lulus Aliyah dia mondok satu tahun di pesantren. Menurutnya menjadi tukang diperolehnya secara otodidak.
"Saya tak pernah ikut pelatihan, saya belajar sendiri secara otodidak," akunya saat ngobrol di sela-sela istirahatnya.
Mawardi dan Rahmad adalah salah satu contoh bahwa tidak semua keahlian diperoleh dari bangku sekolah. Keduanya bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan justru dari lingkungannya. Jika Mawardi mengamati tukang ukir selama 4 hari, Rahmad mengamati bapaknya yang sedang bekerja. Begitulah jika Allah menghendaki hamba mendapatkan rezekinya.
Selain keduanya ada lagi Muhyidin, dia sebenarnya bukanlah tukang kayu, dia bekerja serabutan artinya apapun pekerjaannya baik di sawah maupun pekerjaan yang lain asalkan dia bisa melakukannya, dia menyanggupinya.
Muhyidin membantu keduanya untuk finishing, menghaluskan ukiran dengan meremplas supaya ukiran menjadi indah dan siap diplitur. Muhyidin pun tidak mendapat pekerjaan dari bangku sekolahnya. Baginya apa yang dikerjakan selama itu halal, why not...tak masalah.Â
Lalu seperti apakah belajar otodidak itu
Otodidak adalah istilah terkait cara belajar dan proses pembelajaran yang dilakukan sendiri. Kamus Belajar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan sebagai sebuah keahlian hingga punya kemampuan baru.
Bisa diartikan bahwa otodidak adalah belajar tanpa bimbingan dari luar, dalam prosesnya tergantung dari dia sendiri sejauh mana dorongan dan motivasinya untuk menjadi apa yang dia inginkan. Mendapatkan pengalaman baru dan menemukan jalan keluar secara mandiri.
Berikut kiat-kiat belajar otodidak
Satu, punya rasa ingin tahu lebih
Mengalir dan tiba-tiba datang keinginan untuk belajar lebih banyak. Mampu mengamati dengan baik dan kreatif. Berusaha mengembangkan dengan mengambil risiko yang terjadi. Berinovasi sesuai keinginan dan mencari jalan keluar secara mandiri.
Dua, percaya diri
Belajar otodidak harus punya kepercayaan diri, karena apa yang diperolehnya hasil dari pengamatan dan berani mencoba. Kemampuannya adalah kelebihan yang dimilikinya, terus belajar mengembangkan bakat dan kemampuannya sehingga menjadi lebih professional.
Tiga, selalu bersyukur
Apa yang telah diraih dari belajar otodidak perlu disyukuri, karena semua berasal dari Allah Subhanahu wata'ala. Kepandaian dan bakat adalah pemberian, tak mungkin didapatkan tanpa campur tangan Tuhan Yang Maha Esa.
Bapak dan Ibu, banyak hal yang dapat kita pelajari dari sekeliling kita, tergantung bagaimana kita membacanya. Alam dan isinya adalah pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya. Tuhan maha pengasih dan penyayang bagi semua hambanya.Â
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.
Referensi: https://apps.detik.com/detik/Kiat-kiat belajar Otodidak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI