Setiap kali kita menyantap makanan, secara umum yang membikin terasa enak dan nikmat  adalah lauknya, ditambah lagi jika lauknya menjadi favorit, tentu nafsu makan akan bertambah. Â
Misalnya saya suka nasi rawon, maka setiap kali mampir warung makan  pasti yang saya tanyakan ke pelayan, "Mbak adakah nasi rawon". Hal ini pasti berlaku juga untuk sahabat kompassioner. Apa makanan favorit anda?
Nah,  topik pilihan kali ini saya akan menuliskan tentang sate. Makanan khas yang berasal dari daging kecil-kecil  yang ditusuk, kemudian dibakar.  Makanan yang satu ini sudah populer diberbagai tempat, dari kota hingga ke pelosok desa.
Dahulu, saat saya masih anak-anak makanan sate hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya, itupun mereka yang tinggal di kota. Nenek saya yang termasuk orang mampu di kampungnya saja belum pernah menjamu cucunya ini dengan sate. He...he...
Menurut Insklopedi Dunia  yang saya baca, sate merupakan makanan yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur kata Sate berasal dari bahasa Jawa dialek Ponoragan, yakni Sak Biting (dibaca Sak Beteng) yang berarti satu tusuk sedangkan di Madura pelafalannya menjadi Sati. Sate baru diketahui oleh Batoro Katong selaku bupati Ponorogo pertama pada abad ke 15 setelah penaklukan Ponorogo yang merupakan makanan warok,
Saya sendiri berasal dari Ponorogo, namun jarang makan sate. Padahal menurut saya lauk sate itu sudah bisa menjadi lauk yang kumplit, gak perlu pakai yang lain. Saat ada sate maka sayur sudah tidak berlaku lagi.
Sate sangat cocok untuk jamuan makan saat ada tamu, tidak ribet, tingggal pesan dan siap dihidangkan, itu juga yang sering saya lakukan saat ada tamu yang kebetulan singgal di rumah.
Sate penuh kenanganÂ
Mengingatkan saya dua puluh delapan tahun yang lalu, saat saya hamil anak pertama. Suami mengajak saya makan di pojok pasar. Warung itu bertuliskan sate-gulai kambing.
"Dua porsi gulai Mbah", pesan suami pada Mbah Yem, penjual sate. Mbah Yem sangat terkenal di era sembilan puluhan. Tepatnya di Desa Siwalan Mlarak Ponorogo.