Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sate Pohon Asem yang Penuh Kenangan

27 Mei 2024   22:25 Diperbarui: 27 Mei 2024   22:28 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar penjual sate. Gambar dari : TIMES Indonesia.

Setiap kali kita menyantap makanan, secara umum yang membikin terasa enak dan nikmat  adalah lauknya, ditambah lagi jika lauknya menjadi favorit, tentu nafsu makan akan bertambah.  

Misalnya saya suka nasi rawon, maka setiap kali mampir warung makan  pasti yang saya tanyakan ke pelayan, "Mbak adakah nasi rawon". Hal ini pasti berlaku juga untuk sahabat kompassioner. Apa makanan favorit anda?

Nah,  topik pilihan kali ini saya akan menuliskan tentang sate. Makanan khas yang berasal dari daging kecil-kecil  yang ditusuk, kemudian dibakar.  Makanan yang satu ini sudah populer diberbagai tempat, dari kota hingga ke pelosok desa.

Dahulu, saat saya masih anak-anak makanan sate hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya, itupun mereka yang tinggal di kota. Nenek saya yang termasuk orang mampu di kampungnya saja belum pernah menjamu cucunya ini dengan sate. He...he...

Menurut Insklopedi Dunia  yang saya baca, sate merupakan makanan yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur kata Sate berasal dari bahasa Jawa dialek Ponoragan, yakni Sak Biting (dibaca Sak Beteng) yang berarti satu tusuk sedangkan di Madura pelafalannya menjadi Sati. Sate baru diketahui oleh Batoro Katong selaku bupati Ponorogo pertama pada abad ke 15 setelah penaklukan Ponorogo yang merupakan makanan warok,

Saya sendiri berasal dari Ponorogo, namun jarang makan sate. Padahal menurut saya lauk sate itu sudah bisa menjadi lauk yang kumplit, gak perlu pakai yang lain. Saat ada sate maka sayur sudah tidak berlaku lagi.

Sate sangat cocok untuk jamuan makan saat ada tamu, tidak ribet, tingggal pesan dan siap dihidangkan, itu juga yang sering saya lakukan saat ada tamu yang kebetulan singgal di rumah.

Gambar dari : Surabaya Bisnis.com
Gambar dari : Surabaya Bisnis.com

Sate penuh kenangan 

Mengingatkan saya dua puluh delapan tahun yang lalu, saat saya hamil anak pertama. Suami mengajak saya makan di pojok pasar. Warung itu bertuliskan sate-gulai kambing.

"Dua porsi gulai Mbah", pesan suami pada Mbah Yem, penjual sate. Mbah Yem sangat terkenal di era sembilan puluhan. Tepatnya di Desa Siwalan Mlarak Ponorogo.

"Pakai sate atau gak Pak", Jawab Mbah Yem sembari melayani pembeli yang lain.

"Iya dong Mbah, harus itu", kelakar suami pada Mbah Yem. Usia Mbah Yem Saat ini sekitar lima puluh tahun, khasnya dalam meracik bumbu sate gulai membuatnya terkenal.

Saya merasakan begitu nikmat menyantap gulai kambing beserta sate kala itu, hingga saat ini saya masih teringat kelezatannya, padahal sate bukan makanan favorit saya. Mungkinkah saat itu  saya lagi  nyidam sate ya, karena sebelumnya saya tidak begitu suka sate.

Di Ponorogo, gulai kambing berasal dari daging kambing muda,  dagingnya empuk dan tulangnya begitu renyah saat di gigit. Aroma gulai sangat khas saat bercampur dengan irisan bawang merah dan daun jeruk. Ditambah lagi dengan sambal kacang dan kecap.

Harum daun jeruk itulah yang menggugah penikmat gulai, apalagi jika ditambah dengan sate diatasnya. Menu yang kumplit itu menjadi makanan favorit sebagian besar masyarakat Ponorogo, termasuk suami.

Setiap kali pulang kampung, pasti akan menyempatkan mampir warung untuk  mencicipi sate gulai  kambing khas Ponorogo.

Sayangnya warung Mbah Yem saat ini sudah tidak ada, warung tempo dulu itu sekarang sudah menjadi mini market dengan bangunan yang lebih modern.

Warung Sate gulai Mbah Yem yang berada di pojok Toko Siwalan, di bawah pohon asem, sangat terkenal. Keramahan Mbah Yem saat melayani pembeli dengan dialeg ponorogoan menjadi daya tarik pelayan, termasuk saya dan suami.

Sebenarnya sate Ponorogo saat ini juga banyak berjajar seperti di jalan Gajah Mada, ngepos, juga di beberapa tempat lainnya. Namun, entahlah sate Mbah Yem dua puluh depalan tahun yang lalu masih menjadi sate kenangan yang tak pernah terlupakan.

Ilustrasi gambar dari : Kompas.com
Ilustrasi gambar dari : Kompas.com

Pengalaman membuat sate empuk

Sebentar lagi Idul Adha tiba, sebagain besar kita mendapat jatah daging dari panitia kurban. Nah  kita harus pandai-pandai mengolah daging agar tidak bosan dengan menu yang itu-itu saja.

Saatnya kita membuat sate yang empuk dan lezat. Pengalaman saya membuat sate daging yang empuk adalah, pertama-tama daging direndam dengan parutan nanas kurang lebih 30-60 menit. Setelah itu potong daging kecil-kecil sesuai selera.

Tusukkan daging dengan lidi atau sunduk sate yang sudah disiapkan. Sebelum dibakar lumuri dulu dengan kecap atau bumbu sesuai selera. Bakar sate dengan arang dan kipas angin, beberapa saat sate diwolak walik agar tidak gosong dan  merata.

Setelah harum dan daging berwarna kecoklatan angkat sate. Siapkan bumbu sesuai selera, ada yang suka kecap dengan irisan bawang merah dan cabai, ada juga yang suka dengan sambal kacang.

Saya lebih suka pakai kecap dan irisan bawang merah lebih praktis dan rasanya mak nyus. Sate siap di hidangkan. Selamat mencoba.

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun