Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lebih Enak Mana Ya, Hidup di Desa atau di Kota?

25 September 2023   21:29 Diperbarui: 30 September 2023   20:35 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Warga berjalan di hamparan sawah yang hampir panen. (KOMPAS/RENY SRI AYU)

Jika ada pertanyaan, lebih enak hidup di kota atau di desa ya, atau lebih tenang hidup di desa atau di kota ya. Tentu jawabannya akan beragam tergantung sudut pandang seseorang.

Saya sendiri hidup di pedesaan sejak kecil, dewasa hingga saat ini, sehingga suasana pedesaan menjadi bagian hidup saya.

Bagi saya hidup di desa adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri, betapa tidak, kehidupan yang nyaman, tenang, dan penuh persaudaraan masih kental mewarnai kehidupan di desa.

Ilustrasi suasana pedesan. gambar dari: Flickr
Ilustrasi suasana pedesan. gambar dari: Flickr

Mungkin beda dengan kehidupan di kota, terkadang dengan tetangga yang paling dekat pun tidak kenal, karena jarang berinteraksi antara satu dengan yang lain. Karena sebuah pekerjaan dan kesibukan, banyak orang kota yang tidak sempat untuk sekadar ngobrol dengan tetangga dekatnya.

Menurut para alim, ketenangan hidup seseorang sebenarnya tidak dipengaruhi di mana tempat dan keberadaannya, karena ketenangan seseorang berada di hati dan jiwanya.

Bagi saya sebagai orang awam mempunyai persepsi bahwa kehidupan di desa lebih nyaman dan damai dari pada di kota, entah berapa persen kebenaran pendapat ini. Yang saya tahu tuntutan kehidupan di kota lebih konsumtif daripada di desa.

Misalkan saja yang saya alami sendiri, jika di desa, pekarangan rumah yang masih kosong bisa ditanami sayuran seperti bayam, tomat, terong, dan lain-lain. Jika sudah berbuah bisa dipetik dan kita bagikan kepada tetangga dekat.

Penulis saat mengajak murid-murid di sekitar hutan. (Dokumentasi pribadi)
Penulis saat mengajak murid-murid di sekitar hutan. (Dokumentasi pribadi)

Kegiatan saling memberi masih melekat di pedesaan, saya juga sering menerima hasil panen tetangga. Misalnya beras, jagung juga kacang panjang. Sehingga kebutuhan sayuran terkadang terpenuhi tanpa harus membeli di warung.

Mungkin berbeda saat di kota, karena sifatnya individualis rasa saling memberi kurang dirasakan. Hal ini seperti yang dialami adik saya yang berada di Jakarta. 

Tidak ada pekarangan untuk menanam, mereka lebih memilih langsung beli ke supermarket dari pada harus menanam di pekarangan. Selain tidak ada lahan mungkin juga tidak mau ribet dan sebagainya.

Mindset dan cara pandang orang kota berbeda dengan orang desa, sebagian besar orang desa biasa rekoso atau kangelan, mereka bertani atau menjadi buruh tani. Bagi yang punya lahan maka sawah digarap dan langsung terjun sendiri.

Namun bagi buruh tani, dia bekerja dan mendapat upah mulai dari membajak sawah, tandur, matun, memupuk, hingga memanennya. Pekerjaan itu tentu membutuhkan tenaga yang ekstra karena selain kepanasan, menantang panasnya matahari tempatnya pun di tengah pematang sawah, yang penuh lumpur.

Penulis saat matun di sawah. (Dokumentasi pribadi)
Penulis saat matun di sawah. (Dokumentasi pribadi)

Tentu pekerjaan ini biasa dilakukan oleh orang-orang pedesaan, sehingga mereka pun tak muluk-muluk dengan ekspektasinya. Bisa makan dan dapat membiayai sekolah anak-anaknya adalah prioritas mereka. Tak ada rumah mewah, yang ada bangunan kuno berdinding kayu, tak ada mobil mewah yang ada motor vario tanpa kredit.

Ada cerita teman saya yang tinggal di Jakarta kurang lebih dua puluh tahun dia berdomisili di sana. Sejak meninggalkan kampung halaman dan menikah dengan orang kota, hidupnya semakin sukses, suami yang bekerja di perusahaan dengan gaji yang besar membuat hidupnya lebih mapan dan sejahtera.

Namun semua yang diperolehnya tidak berlangsung lama, tiba-tiba suaminya mengalami musibah, Suaminya terkena stroke sehingga tidak bisa lagi bekerja. Lama-kelamaan untuk biaya pengobatan dan kebutuhan rumah tangganya, mobil, rumah dia jual. Beruntung masih ada rumah untuk dia tempati.

Saat dia curhat padaku, saya sarankan untuk pulang saja ke desa. Di desa biaya hidup lebih murah dari pada di kota. Namun dia menolaknya karena beberapa alasan.

Saya hanya bisa berdoa, semoga suaminya segera sembuh dan bisa kembali bekerja untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Wasana kata

Manakah yang lebih enak, hidup di desa atau di kota, adalah tergantung pada seseorang yang mengalaminya. Seperti ilustrasi di atas, bagiku lebih baik di desa namun temanku menolak hidup di desa karena dia menyukai kehidupan di kota.

Bapak dan Ibu, benar apa yang dikatakan para alim, bahwa ketenangan hidup bukan terletak pada letak geografis dan kondisi alam, namun lebih pada hati dan jiwa seseorang.

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun