Makna Idul fitri tahun ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika lebaran tahun lalu kami bertemu dengan saudara-saudara yang mudik, saat hari raya ini karena sesuatu hal mereka tidak bisa mudik.
Mungkin karena tidak bertemu saudara inilah ada perasaan yang kurang dalam memaknai lebaran tahun ini. Seperti perasaan Ibu, jika sebelumnya anak-anaknya bisa sowan dan saling berbagi cerita, kali ini  dari  lima bersaudara hanya saya yang bisa mudik untuk merayakan hari raya Idul fitri di kampung.
"Sepi, nduk... adik-adikmu gak balik", Ucap Ibu nelangsa, karena ketiga putrinya belum bisa mudik. Suami dari keduanya masuk rumah sakit. Sedangkan adiknya lagi terjadual hari raya di pulau seberang.
"Gak papa, Mbah Uti...yang penting didoakan saja, yang sakit segera sembuh dan tahun depan bisa bertemu lagi seperti hari raya sebelumnya", ujarku pada Simbah.
Hari Raya idul fitri memang puncak dari serangkaian Ibadah puasa di bulan Ramadlan. Sebagaimana Allah  dan Rasulnya telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menjalankan ibadah puasa dengan penuh keihlasan.
Rasa ikhlas inilah yang belum seluruhnya dinikmati oleh orang-orang yang berpuasa saat Bulan Ramadlan. Ada yang berpuasa karena untuk menggugurkan kewajiban karena menjadi muslim maka kewajibannya menjalankan perintan Allah dan Rasulnya.
Ada juga yang berpuasa karena sungkan dengan teman, tetangga atau keluarga, "Semuanya berpuasa masa kok gak ikut puasa", akhirnya ikut puasa.
Ada juga yang berpuasa dengan tujuan supaya sembuh dari penyakitnya. Dan masih banyak lagi motivasi dan tujuan puasa menurut individu masing-masing.
Namun banyak orang-orang sufi dan mereka yang dekat dengan Allah menjalankan puasa karena murni menjalankan perintah Allah, dengan rasa ihlas dan penuh hidmad mereka menjalankan ibadah puasa dengan rasa bungah.
Mereka mempercayai dengan penuh keyakinan bahwa bulan yang mulia ini dibukakan pintu  maghfirah atau ampunan juga dilipatgandakan pahala bagi orang -orang yang mengerjakan kebajikan.
Bagi kami memaknai idul fitri masih sebatas meluapkan perasaan senang dan gembira. Karena Hari Raya Idul Fitri ini kita kembali pada fitrah atau suci setelah satu bulan penuh menahan dan mengekang hawa nafsu untuk mensucikan diri sebagai pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Mungkin  alasan yang kronis bahwa kesibukan menjadi momok yang dianggap menjadi penyebab saat kita tidak menikmati indahnya bulan yang penuh keberkahan ini.  Di akhir Ramadhan tiba-tiba saja ada perasaan menyesal kok Ramadlan berlalu begitu saja ya.
Jika saat Ramadlan kita berusaha melaksanakan ibadah wajib dan sunah, penuh keprihatinan dan menjaga perbuatan-perbuatan dari kemunkaran, layaknya kawah candradimuka maka hasilnya akan kita rasakan saat  Hari Raya Idul Fitri tiba.
Fitri artinya suci, maka seperti apakah kesucian yang kita dapatkan? Apakah kita masih suka bergosip ria sepanjang waktu? atau kita masih tidak peduli dengan tetangga atau orang lain yang membutuhkan pertolongan?
Ataukah kita masih seperti dulu dalam bersikap, masih temperamen, gampang emosi, gampang berprasangka buruk pada orang lain.
Semuanya bermuara pada ihlasnya niat saat melaksanakan ibadah puasa di Bulan Ramadlan. Â Karena sesungguhnya hikmah dan menivestasi dari puasa Ramadlan sendiri adalah menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa.
Seperti yang terdapat dalam Alqur'an surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa".
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa hikmah dari puasa di Bulan Ramadlan adalah agar menambah ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Seperti apa kita  bisa merasakan hikmah tersebut, dimulainya bulan Bulan Syawal sebagai bulan peningkatan.
Bagaimana kita meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, bagaimana kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Inilah sesungguhnya cermin yang bisa kita jadikan tolok ukur saat kita menjalankan puasa di Bulan Ramadlan.
Tumbuhnya kesadaran secara total bahwa bekal terbaik bagi orang-orang yang beriman adalah meningkatnya taqwa terhadap Tuhan yang Maha ESa. Melaksanakan perintah tanpa merasa terbebani dan menjauhi larangannya dengan ihlas dan ridla.
Mampu menahan amarah dan saling memaafkan di hari yang fitri ini juga menjadi perintah yang terdapat dalam alquran surat Ali Imran ayat 133-134 yang artinya ; "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang dan sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan".
Energi positif dari momentum Ramadlan dan Idul fitri dengan saling memaafkan semoga selalu dilestarikan sehingga saling silaturrahmi yang selama ini menjadi tradisi di Bulan Syawal tidak akan hilang tergerus zaman.
Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H