Dulu ketika tahun 2010, saya hanya punya ponsel jadul yang bergantian dengan suami juga anak. Satu ponsel untuk bertiga, otomatis semua relasi dan apapun yang menjadi pembicaraan kami semua akan mengetahui. Termasuk dengan siapa anakku berkomunikasi via SMS.
Mengawali komunikasi secara terbuka dengan anggota keluarga adalah awal yang baik, sehingga tak ada dusta di antara kita.
Hal ini pun berlangsung sampai saat ini, kebiasaan yang sudah sepuluh tahun itu kini masih berlaku walaupun masing-masing mempunyai ponsel sendiri, saling membuka ponsel dan minta tolong untuk membalas chat masih menjadi kebiasaan kami dalam keluarga.
Mungkin untuk sebagian orang ada yang memahami bahwa ponsel miliknya adalah privasi, yang hanya boleh diketahui oleh dirinya sendiri, tak ada yang boleh membukanya walaupun itu anak, atau suami/istri.
Hal itupun sah-sah saja karena pendapat dan perspektif orang berbeda-beda. Namun justru saya sebaliknya, jika untuk keluarga inti bagiku harus saling terbuka. Sehingga kami saling mengetahui  apa yang tengah terjadi termasuk dengan siapa anak-anakku berteman.
Suatu hari temanku curhat jika hubungannya dengan suami, agak renggang. Ketika saya tanyakan apa sebabnya, dia bilang, "Suamiku tidak jujur, saya sempat melihat foto-foto mesra di galerinya, dia tersinggung ketika saya buka ponselnya."
"Apa ibu biasa buka HP suami atau anak?" tanyanya padaku
"Aku, suami dan anak-anak semua saling terbuka, tak ada dusta diantara kami, HP saling lihat, minta tolong balas chating biasa kok," jawabku.
"Semua berawal dari saling terbuka dik, komunikasikan dengan baik, saya yakin jika kita saling ngobrol pasti akan ketemu solusinya." Saranku pada Andini temanku.
Apa yang terjadi pada keluarga Andini bukan cerita sinetron, tetapi fakta, hal tersebut juga dialami oleh pasangan muda zaman now. Semua berawal dari ketidakterbukaan antar pasangan.
Namun pada tulisan kali ini saya akan membahas bagaimana keterbukaan antara anak dengan orang tua.Â
Pada prinsipnya selama anak belum menikah sebaiknya apapun yang menjadi masalah anak  menjadi tanggung jawab orang tua, apalagi jika anak masih dalam masa sekolah.
Bagaimana menciptakan komunikasi dengan anak? Berikut kiat yang bisa dilakukan.
Satu, jadikan kita sebagai orang yang paling dekat dengan anak
Hubungan orang tua dan anak tentu tak tergantikan, namun dengan bertambahnya usia terkadang anak mempunyai teman dan sahabat  baik di sekolah maupun  dalam organisasi lain. Sebaik apapun teman dan sahabat dekatnya jangan gantikan peran kita sebagai orang tua.
Mungkin dia akan curhat tentang apa yang menjadi masalahnya pada orang lain, namun tanamkan bahwa kita sebagai orang tua sebaiknya tahu masalah yang dihadapinya.
Hal ini bisa dimulai ketika pertama kalinya anak gadis kita mendapatkan menstruasi. Banyak reaksi anak gadis yang pertama kali mengalami menstruasi, ada yang menangis, sedih, bingung, dan lain-lain. Maka kita akan menjadi orang pertama yang memberikan nasehat dan pesan kebaikan pada anak gadis kita.
Teringat pertama kali anakku mengalami datang bulan, dia menangis sejadi-jadinya, takut dan galau, saya menghiburnya dan menyampaikan, "Gak apa-apa itu kodrat wanita, dan harus diterima. Itu tandanya kamu sudah baligh atau dewasa."
"Mulai sekarang kamu harus hati-hati dalam bergaul, suatu saat kamu akan tertarik pada lawan jenis. Mama selalu ada untukmu," itulah pesan yang pertama kali kuucapkan pada putriku, sehingga dia tahu bahwa orang pertama kali yang harus tahu masalahnya adalah ibunya bukan orang lain. Â Â
Dua, jalin komunikasi  seperti sahabat
Bagaimana kedekatan anak dan orang tua bisa digambarkan saat pertama kali orang tua memperlakukan anaknya sendiri. Wibawa dan berjarak atau layaknya sahabat yang saling berbagi adalah sikap yang bisa ditanamkan sejak kecil.
Anak yang tumbuh dari orang tua yang disiplin dalam menerapkan aturan, cenderung ada rasa takut  dengan otang tua, takut ngomong Khawatir salah bahkan tidak mau terbuka karena tahu akibat yang ditimbulkannya.
Sering mengajak ngobrol layaknya sabahat atau teman, akan membuka peluang anak untuk curhat dan menyampaikan masalahnya termasuk mengenalkan teman dekatnya.
Tak ada rasa sungkan, ewuh pakewuh saat telah mempunyai kekasih hati. Dia akan terbuka bahkan saat dia ada masalah dengan pacarnya.
Tiga, memberikan rambu-rambu atau batasan dalam bergaul
Saat kita telah saling terbuka dengan anak, maka saat itulah kita bisa menyampaikan batasan-batasan dalam bergaul. Apa saja yang boleh dilakukan dan sikap seperti apa yang tidak boleh dilakukan. Semakin dewasa anak akan semakin mengerti tujuan orang tua melindungi anak gadisnya.
Empat, menanamkan aqidah dan tuntunan agama sejak dini
Yang tak kalah penting bagi orang tua hendaklah menanamkan aqidah dan tuntunan agama pada anak-anak kita.Â
Agama menjadi pedoman sekaligus tuntunan yang bisa mengawal hidup seseorang. Arah dan tujuan hidup seseorang akan terbimbing jika kita menjalankan tuntunan agama dalam kehidupana kita sehari-hari.
Wasana Kata
Bapak dan ibu, perilaku anak adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua. Baik-buruknya mereka mencerminkan bagaimana orang tua mendidiknya. Dalam agama Islam kita diperintahkan untuk menjaga keluarga termasuk anak-anak kita dari api neraka.
Al-qur'an menyebutkan, "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu" (Q.S At Tahrim 6).
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H