Pekerjaan Rumah atau PR adalah hal yang biasa diberikan guru terhadap  siswanya. Kemampuan murid berbeda-beda ada yang diberi penjelasan di kelas dengan mudah menerimanya, ada yang ndablek, diterangkan berulang kali namun masih saja belum nyantol.
Namun banyak juga  yang ditanya, "Paham anak-anak" semua kompak menjawab "Paham Bu guru", tetapi ketika diberi tugas untuk mengerjakannya kembali, mereka tidak bisa. Sehingga guru harus mengulang kembali dengan soal-soal yang lain.
Begitulah suasana kelas yang selama ini kami hadapi. Kemampuan yang berbeda, keunikan dan bakat mereka yang berbeda adalah tugas guru untuk mendampingi dan mengantarkan mereka menjadi siswa yang aktif dan produktif.
Perbedaan karakter dan kemampauan yang tidak sama tentu harus disikapi dengan lapang dan penuh tanggung jawab. Dalam dunia  pendidikan yang diusung Ki Hajar Dewantara. Guru ibarat seorang petani. Siswa diibaratkan sebagai benih yang disemaikan di lahan atau pekarangan.
Bagaimana bibit yang disemaikan akan tumbuh dengan baik, maka petani harus memelihara, memupuk, dan menghilangkan gulma yang tumbuh disekitar tanaman. Begitulah sosok guru sebagai petani yang dapat menuntun murid menjadi manusia dewasa yang berkarakter.
Apakah PR Perlu diberikan pada siswa?Â
Menurut kami, PR tetap harus diberikan pada siswa. Mengapa?  berikut  manfaat dari Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa?
Pertama, PR sarana siswa untuk belajar.
Setiap murid mempunyai kemampuan yang  berbeda. Bagi anak yang pandai diberikan PR akan merasa  senang, bahkan ketika guru tidak memberikan PR hari itu pasti akan meminta.
"Bu, kok tidak  diberi PR?" tanya Andi anak yang rajin di kelas 5. Namun dua sahabatnya Takin dan Irul justru membantahnya.
"Gak usah Bu, Gak Usah"sahut keduanya. Takin dan Irul anak yang kemampuan kognitifnya memang jauh di bawah Andi. Sehingga keduanya menolak untuk diberi PR.
Untuk menyikapi hal tersebut saya tetap memberikan PR namun bobot soalnya tidak sama. Contohnya jika Andi dan beberapa teman yang kemampuannya sama, kami memberikan soal-soal pengayaan.
Sedangkan untuk Irul dan Takin saya memberinya soal-soal perbaikan. Artinya soal yang diberikan pada keduanya tingkat kesulitannya tidak sama dengan Andi. Bahkan jauh lebih mudah. Sehingga mereka tetap merasa senang jika diberi PR.
PR bukan lagi menjadi momok yang menakutkan namun menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Saat ini kita tidak munafik untuk melihat venomena zaman juga alam. Bahwa gadget sudah menjadi candu bagi anak-anak usia sekolah.
Bahkan banyak anak-anak yang secara terang-terangan mengaku bahwa tadi malam tidak belajar. Ketika saya menanyakan adakah tadi malam yang menonton TV? Mereka dengan serempak menjawab:
"Tidak Bu, saya melihat You Tube, Saya melihat tik tok, saya melihat video, saya WAnan dengan teman saya", Itulah yang terjadi saat ini. Maka menurut pendapat saya PR adalah hal yang sebaiknya diberikan untuk siswa.
Pada kenyataannnya, anak akan belajar jika ada PR. Jika tidak ada PR anak-anak enggan belajar, lebih suka membuka gadget dari pada  membuka buku dan membacanya.
Kedua, Mengingat kembali penjelasan guru.
Setelah guru menyampaikan materi di dalam kelas, baik itu  secara diskusi atau kolaborasi, ada saja yang lupa karena tidak memperhatikan, atau karena memang kemampuannya yang kurang mendukung.
Nah dengan diberikannya PR yang relevan dengan materi yang telah disampaikan, Â anak akan mengingat kembali. Apalagi jika model pertanyaannya dibuat seperti map mapping atau peta pikiran. hal itu akan mengeksplor kembali ingatan siswa.
Hal ini sesuai dengan arahan Ki Hajar Dewantara, bahwa kita sebagai guru harus menebali murid yang masih samar-samar. Kemampuan murid yang belum maksimal harus ditebali dengan beberapa pertanyaan atau pernyataan kognitif yang mengajak mereka untuk berpikir secara kritis.Â
Ketiga, Sarana untuk menuntun murid
Selain guru diibaratkan sebagai petani, guru juga sebagai penuntun. Memberikan bimbingan juga mengarahkan  kemampuan dan bakat yang mereka miliki. Bahkan saat ini dalam kurikulum merdeka belajar  kita harus memberikan kebebasan terhadap murid sesuai dengan bakat dan karakter yang mereka miliki.
Namun demikian karena guru sebagai penuntun, diharapkan dapat mengarahkan kepada hal-hal yang positif. Jangan sampai karena kurikulum merdeka kemudian memberikan pembiaran terhadap siswa, justru kita harus mewadahi dan menyalurkan bakat mereka menjadi prestasi yang membanggakan.
Masih menurut Ki Hajar Dewantara bahwa sebagai penuntun, guru harus memberikan tiga konsep pendidikan yaitu, Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madyo Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Jika di depan hendaklah memberikan contoh dan keteladanan, Jika di tengah hendaklah memberikan ide dan semangat, jika di belakang hendaklah memberikan support.
Bagaimana PR dapat menjadi sarana menuntun siswa?Â
Pekerjaan rumah (PR) tidak harus tentang materi pembelajaran namun bisa saja tentang budi pekerti, karakter atau pembiasaan yang bisa diceritakan di rumah.
Nah dengan memberikan pertanyaan seputar budi kekerti juga karakter maka secara tidak langsung  bisa menuntun siswa ke arah yang lebih baik. Pembiasaan di rumah yang mereka tulis, pendapat terhadap lingkungan yang buruk  juga perlakukan teman yang kurang menyenangkan menjadi bahan yang bisa memberikan umpan balik terhadap siswa.
Bapak dan Ibu, menurut kami memberikan PR masih relevan untuk saat ini. Bahkan kenyataannya, Â anak-anak sekarang mau belajar jika ada PR. Zaman yang serba canggih dengan tehnologi seperti sekarang, jangan sampai tugas pokok siswa kalah dengan gadget. Sehingga mereka melupakan belajarnya.
salam sehat selalu, semoga bermanfaat.
Sumber : Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Modul 1.1 Program Calon Guru Penggerak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H