Adat dan budaya Jawa banyak ragamnya. Semua mengandung filosofi dan pelajaran bagi yang mau memahaminya. Salah satunya budaya "Tedhak Siten". Tedhak Siten atau Mitoni adalah selamatan bagi bayi yang berumur tujuh bulan menginjak delapan bulan. Tentu tidak semua orang Jawa melakukan budaya semacam ini.
Semua tergantung individu masing-masing. Hanya saja jika masih ada orang sepuh atau simbah di keluarga biasanya masih menggunakan adat Jawa yang satu ini, termasuk saya dan keluarga. Budaya Jawa yang sudah jarang dilakukan ini adalah tradisi turun temurun yang sifatnya mubah dilakukan. Artinya boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan.
Seperti yang kami lakukan lebaran tahun ini. Kesempatan mudik di kampung menjadi kesempatan emas untuk saling melepas kangen. Momen langka yang tidak setiap tahun dilakukan ini, terlebih adanya covid dua tahun ini menjadikan kami keluarga besar menunda mudik demi menjaga kesehatan masing-masing.
Adik saya yang kebetulan mudik dari Jambi menggunakan momen ini untuk melakukan selamatan sekaligus tasyakuran "Tedhak Sinten"anaknya.
Apa itu tradisi Tedak SitenÂ
Tedak Siten atau biasa kami menyebutnya dengan Mitoni biasanya dilakukan ketika anak masih berumur tujuh bulan dari kelahirannya. Biasanya anak sudah mulai merangkak atau brangkang (Jw)
Dikutip dari situs UNY, dari laman HaiBunda tedhak siten ini dilakukan terhadap anak yang baru pertama kali belajar berjalan atau pertama kali menginjak tanah. Tedhak siten berasal dari dua kata, yakni 'tedhak' yang artinya menapakkan kaki dan siten dari kata siti yang artinya bumi atau tanah.
Upacara tedhak siten biasanya dilakukan saat bayi berusia tujuh bulan dan baru mulai belajar duduk dan berjalan. Tujuannya agar anak menjadi mandiri di masa depannya.
Selain itu dilaksanakannya prosesi Tedhak Siten adalah untuk mempersiapkan anak agar mampu melewati setiap fase kehidupan. Di mulai dengan tuntunan dari kedua orangtuanya hingga ia mulai berdiri sendiri dan memiliki kehidupan mandiri (Sahabat local).