Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salah Masuk Rumah

30 Januari 2022   17:42 Diperbarui: 30 Januari 2022   17:53 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar. kibrispdr.org

Aini tidak tau siapa yang datang, pria bertubuh tegap dan kekar itu terlihat macho, perawakan tinggi, hidung mancung, berkaos lengkap dengan jins biru. Jujur dalam hati Aini mengatakan, "wah...lumayan sempurna perjaka yang ada di hadapanku ini".

Sayangnya Aini belum mengenalnya lebih jauh, bahkan dia menolak dengan mengatakan:  "Ibarat mangga aku masih pentil, belum kepikiran untuk berumah tangga," jawaban itu yang kemudian disimpulkan bahwa Aini tidak serius menanggapinya.

Bagaimana mungkin Aini menjawab keseriusan lelaki yang telah matang untuk berumah tangga. Sedang dia baru saja lulus Aliyah. Aini masih ingin menikmati masa remaja, masih ingin menikmati kesendirian sebagai lajang yang ingin bekerja dan membantu ibu untuk mengurangi beban hdupnya.

Mestinya kalau ingin membantu meringankan ekonomi, Aini harus bekerja sehingga hasilnya bisa diserahkan pada Simbok  untuk biaya sekolah adik-adiknya. Namun, cita-cita itu tidak sesuai dengan harapan Bapaknya. Bapak Aini adalah orang yang sederhana, tidak pernah merngukur kesuksesan dari kekayaan. Baginya menunutut ilmu itu wajib, dan mengamalkannya adalah keharusan.

Aini sempat berpikir untuk menjadi TKW, namun Bapaknya menentang. Menurut Aini TKW tidak harus menjadi pembantu. Banyak peluang pekerjaan disana.  Ahirnya Aini menjatuhkan pilihan untuk menuruti apa kata Bapak, sebagai baktinya pada orang tua.

"Cah wedok ora apik lungo teko luar negeri, akeh madlorote", ujar Bapak ketika mengungkapkan keinginannya. Jawaban itu mengurungkan niat Aini menjadi TKW di Malaysia.

Dua hari setelah menfinalkan keputusan, Aini mendapat panggilan dari almamater jika besuk harus berangkat untuk mengabdi di salah satu pesantren. Inilah jawaban dari Tuhan, mungkin ini jalan terbaik yang harus  dia lakukan.

Aini mengatakan kabar ini pada Simbok sambil  menangis, mengungkapkan perasaannya yang tiba-tiba besuk harus  berangkat, rasanya  belum siap untuk berpisah dengan keluarga di rumah.

"Gak usah nangis, wong Bapakmu malah seneng, mugo-mugo awakmu krasan nek pondok", kata Simbok menasehatinya.

"Mbok, sebetulnya aku ingin membantu meringankan biaya sekolah adik-adik", sahut Aini  kemudian.

"Wis gak usah, biaya sekolah kui tanggung jawabe wong tuwo, awakmu gak usah melu-melu" tutur Simbok meyakinkan Aini.

Ahirnya Aini berangkat ke pesantren bersama dua temannya dengan tujuan yang sama. Alhamdulillah mungkin ini yang terbaik baginya. Dijalani hari-harinya di sana sebagai ustadzah yang mengajar para santri. Menikmati kehidupan di pesantren mengajarkan banyak hal.

Semua jalan hidup seseorang adalah pilihan. Maka jatuhkanlah pilihanmu pada yang benar. Karena pilihan akan mengantarkanmu pada masa depanmu. 

Tak terasa sudah satu tahun Aini berada di pesantren, setiap pertengahan semester  dapat pulang untuk melepas kangen pada Bapak, Simbok dan adik-adiknya. Setiap kali pulang dia membawa oleh-oleh sekedarnya, kadang juga membelikan kain untuk mereka jika pas ada fulus. Tidak banyak yang Aini berikan pada mereka, karena memang bukan orang yang sedang bekerja, toh mereka juga tidak banyak berharap kepadanya.

Dua hari berada di rumah tiba-tiba ada dua orang pemuda  yang datang ke rumahnya. Aini tidak mengenalnya. Ketika dipersilahkan masuk dia mengatakan:

"Maaf tadi salah masuk rumah", ujarnya menerangkan

"Lo, la jenengan saking pundi?" tanya Aini penasaran.

"Rumah yang ada di depan, saya kira rumahe sampean, ternyata rumahnya Simbah", jawabnya malu-malu.

Aini terkesan dengan keberanian dan pedenya, tidak kenal juga belum pernah ketemu, datang ke rumah dan menyampaikan maksud berkenalan dengan serius.

"Aku pemuda dewasa, dan siap berumah tangga, aku ingin berkenalan serius", ucapnya tanpa tedeng aling-aling, setelah duduk dan memperkenalkan  nama dan alamat rumahnya.

Amboooi,,,Berani, banget pemuda di depanku ini,.. Aini hanya mesem dan datar.

Wajahnya lumayan, ganteng, manis dan tegap. Tapi aku kok gak suka ya...

to the point, tak ada basa-basi, mungkin ini jawabannya.

Tak ada 30 menit mereka bertamu ngobrol layaknya bukan orang yang sedang naksir.  Bahkan terkesan obrolan yang menunggu jawaban, tanpa mempertimbangkan lawan bicaranya. Aini bingung memberi jawaban apa dengan pemuda yang ada di hadapannya ini. ya,... Tuhan kok bisa ya,,, 

Ahirnya Aini mengatakan hal yang dia sendiri tidak tau apakah jawabannya masuk akal atau hanya sebuah lelucon orang yang sedang bingung.

"Aku ibarat masih pentil mangga, yang belum menjadi gadis dewasa".

 Setelah mendengar jawaban Aini yang tidak serius menanggapi, kelihatannya pemuda itu  kecewa, tampak ketika dia minta pamit, langsung berdiri tanpa basa-basi. Segera keluar rumah menuju motor Yamaha, yang di parkir di depan rumah Simbah.

Aini mengabaikan apa yang terjadi, bahkan Bapak dan Simboknya juga tak acuh, tidak menanyakan siapa tamu yang datang. Kalau boleh jujur, jika pemuda tadi menyampaikan sekedar berkenalan dulu, agar saling tahu satu dengan yang lain, mungkin Aini akan lebih tersanjung, dan terkesan simpati padanya. Tapi ya sudahlah, mungkin karakter orangnya demikian, to the point dan tak mau bertele-tele.

Bag. 1  buku "Merajut Asa Peneman Rindu"

Salam Sehat selalu, untukmu Kompassiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun