Pada tulisan sebelumnya saya pernah menyampaikan tentang bagaimana kiat-kiat menjadi guru pembimbing khusus, salah satunya harus mempunyai tiket kesabaran tingkat tinggi. Ketika tiket sabar telah kita kantongi, menghadapi semua jenis karakter anak akan bisa kita layani. Termasuk di dalamnya menjumpai anak difabel dengan hambatan tunadaksa.
Memang tidak mudah membimbing peserta didik berkebutuhan khusus, namun demikian jika kesabaran telah melekat dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, guru harus mengedepankan ketulusan dan keihlasan untuk melayani.
Terlahir menjadi anak berkebutuhan khusus atau difabel bukanlah kehendak mereka, hal ini menunjukkan bahwa Tuhan berkuasa mencipta dan memberikan predikat apapun kepada mahluknya. Semua ada hikmahnya. Guru menjadi orang tua di sekolah diharapkan dapat melayani mereka dengan kesungguhan hati.
Sebelumnya saya pernah mengulas tentang anak yang diduga mempunyai hambatan tuna grahita dan juga anak dengan hambatan dwon syndrome.
Kali ini saya akan menuliskan seseorang difabel yang sangat mengispirasi. Mungkin sebagian pembaca dan juga kompassioner telah mengenalnya.
Adalah Agus Yusuf pelukis difabel yang kondang asal kota pecel Madiun. Beliau adalah suami dari teman kompassioner yaitu Sri rahmatiah penulis buku "Kalau Berbeda Lalu Kenapa" dan buku anyarnya yang berjudul "Isyarat Cinta". Saya dan juga teman-teman EPK (Emak punya Karya) menyapanya dengan Mak Sri.
Agus kecil terlahir tanpa tangan dan hanya satu kaki, dia terus berkembang layaknya anak-anak kecil pada umumnya, bisa berjalan walau hanya satu kaki, makan, minum tanpa disuapi bahkan memakai pakaian tanpa bantuan orang lain ( buku KLBK hal 10).
Walaupun keadaannya berbeda dengan teman-temannya tidak menyurutkan niat Agus untuk bercita-cita, ingin sekolah berseragam merah putih seperti adiknya. Walaupun sebelumnya keinginan itu sempat ditolak oleh orang tuanya karena hawatir tidak diterima oleh warga sekolah, maklum zaman Agus kecil belum ada sekolah inklusi yang mengharuskan menerima peserta didik berkebutuhan khusus.
Dengan penuh semangat dan dedikasi yang tinggi Agus menjalani pendidikan dan menyesuaikan diri dengan anak-anak regular lainnya, tak hanya itu, bakat melukisnya tampak ketika kelas 5 SD, karyanya berhasil mendapat juara satu tingkat kecamatan.
Semua guru dan teman-temannya takjub melihat Agus melukis dengan mulut dan kakinya, bakat itu mulai terasah hingga SMP. Berkat bimbingan gurunya Agus sering mengikuti perlombaan dan berhasil mendapat berbagai kejuaraan.
Perjalanan Agus tidak mulus, banyak hambatan dan kerikil tajam yang mengahalau, namun kegigihannya untuk bangkit dan tidak menyerah terhadap keterbatasannya menjadikan Agus meraih cita-cita.