Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Empat Cara Mengatasi Siswa yang Ingin Keluar Sekolah

10 November 2021   13:19 Diperbarui: 10 November 2021   14:58 1489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari mobilmodif.blogspot

Tahun pelajaran baru adalah tahun yang ditunggu para orangtua dan siswa untuk masuk sekolah. Menjamurnya lembaga pendidikan menjadi sebuah pilihan untuk menentukan dimana putra-putrinya akan masuk sebagai peserta didik baru. Malah sekarang ada banyak jalur yang bisa mengantarkan ke sekolah yang menjadi tujuannya.

Pemerintah telah menentukan fleksibilitas bagi daerah untuk menentukan alokasi siswa yang akan masuk di sekolah melalui jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur akademis, dan jalur perpindahan orangtua.

Bagi sekolah dasar yang berada di desa tidak mengenal jalur akademik atau yang lain. Suka-suka orangtua mau dimasukkan ke mana putra-putrinya. Namun bagi lembaga kecil memang harus pandai-pandai memikat orangtua dan masyarakat agar lembaganya dilirik, sehingga berminat memasukkan anaknya.

Dengan latar belakang orangtua yang berbeda, kita sebagai guru harus berjibaku dan dengan sungguh-sungguh memikat hati orangtua maupun anaknya sendiri.

Seperti yang saya alami di lembaga saya, ada siswa kelas satu sebut saja namanya Lintang, tiba-tiba orangtuanya ingin memindahkan anaknya ke lembaga lain. Sebagai guru di lembaga itu segera saya mencari informasi apa penyebabnya.

Setelah saya tanyakan dari beberapa sumber, ternyata anak ini adalah anak pupon (Jawa) diadopsi oleh orang lain. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara, mungkin melihat kondisi ekonomi yang kurang mampu ada seseorang yang menolongnya, sekaligus mengangkatnya sebagai anak.

Suasana belajar dengan guru. gambar diambil dari tirto.id
Suasana belajar dengan guru. gambar diambil dari tirto.id

Terlepas apa masalah yang dihadapi baru lima bulan diasuh, tiba-tiba Lintang dikembalikan kepada orangtuanya. Hingga sekarang Lintang kembali bersama-sama dengan keluarganya.

Keadaan ekonomi yang kurang mampu dari ibu yang single parent, membuat ibu Lintang ingin memindahkannya ke lembaga yang terdekat dengan alasan tidak ada yang antar jemput ke sekolah.

Hal ini tentu menjadi PR yang harus diselesaikan bagi lembaga. Dalam hal ini saya melakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, menyampaikan pentingnya kewajiban menuntut ilmu.

Memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Baik laki-laki maupun perempuan. Apalagi pemerintah mewajibkan belajar sampai usia sembilan tahun yang dikenal dengan wajar sembilan tahun.

Lintang adalah anak cerdas, sehingga sayang jika dia tidak sekolah atau pindah sekolah. Siswa yang pindah sekolah tentu akan menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, sedang di lembaga ini dia sudah banyak mengenal teman juga guru yang mengajarnya.

Sebaiknya Lintang tetap berada di lembaga dimana dia sudah krasan dengan lingkungan tempat dia belajar.

gambar diambil dari mobilmodif.blogspot
gambar diambil dari mobilmodif.blogspot

Kedua, sebagai guru harus menfasilitasi (ngalahi menjemput dan mengantar).

Salah satu penyebab akan dipindahkan karena Lintang tidak ada yang mengantar dan menjemputnya, sedang sekolahnya dekat dengan jalan raya. Sebagai asisten rumah tangga ibunya pagi-pagi sekali sudah harus berangkat kerja. Sehingga tidak ada yang mengantarnya

Kebetulan rumah Lintang satu desa dengan saya, sehingga bisa menghampirinya, baik berangkat maupun pulang sekolah. Dengan pakaian seragam sekolah, Lintang yang ditemani kakaknya sudah bersiap di depan rumah menunggu kehadiran saya. Dengan demikian problem yang dialami Lintang terselesaikan.

Ketiga, menanamkan karakter pantang menyerah

Tiap kali berangkat sekolah sembari naik motor, saya berusaha mengajak ngobrol, hal-hal kecil yang bisa ditangkap oleh anak kelas satu SD, misalkan apakah Lintang sudah bisa mandi sendiri atau berdandan sendiri.

Jawaban polos Lintang menandakan kalau dia anak yang dewasa. Bahkan pernah saya menghampirinya ketika dia masih menyisir rambutnya.

Pernah saya menyampaikan, "Lintang kamu anak yang cerdas, kamu harus rajin belajar supaya kamu nanti menjadi Bu guru," ucapku pada Lintang.

Dengan berbinar dia menjawab, "Ya Bu, saya ingin menjadi guru, nanti saya bisa naik motor sendiri," jawaban yang sederhana namun penuh cita-cita.

Keempat, jangan pernah membandingkan orangtua kita dengan orang lain.

Kondisi Lintang baru dua minggu berada di rumah. Ada banyak perbedaan yang dia temui antara rumah orangtua asuh dengan rumah tempat dia tinggal.

Saya memberikan pengertian kepadanya, bahwa apapun yang dimiliki orang lain itu bukan miliknya, sedangkan yang dimiliki orangtuamu adalah milikmu. jadi jangan bandingkan orangtuamu dengan orangtua yang mengasuhmu.

"Jangan suka minta mainan pada ibumu, mainan adalah untuk anak usia TK, sedang kamu sudah kelas satu." Sesekali saya sampaikan seperti itu, karena ibunya mengeluh Lintang minta dibelikan mainan yang mahal, mungkin selama ini dia dibelikan oleh orangtua asuhnya.

Bapak/Ibu, semoga kita tetap menjadi insan yang bisa berbagi kepada sesama. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun