Petunjuk Umum Interpretasi dan Penerapan dalam SE-52/PJ/2021 salah satunya ialah, penginterpretasian P3B dilakukan dengan iktikad baik (good faith) dan menggunakan pengertian yang lazim (ordinary meaning) sesuai dengan konteks, maksud, dan tujuan disepakatinya P3B tersebut. Hal tersebut diatur dalam hukum kebiasaaan internasional (international customary law) sebagaimana dikodifikasi dalam Vienna Convention  on  the  Law  of  Treaties (VCLT),  dan  ketentuan  perundang-undangan  yang  mengatur  tentang perjanjian internasional.Â
Sejatinya pajak berganda jika dilihat dari segi ekonomis merefer dimana penghasilan tersebut diperoleh dapat dikenakan pemajakan dua kali dengan berbagai macam interpretasi subjek & objek yang bisa saja berbeda.
Jika kembali kita lihat, apakah sebetulnya Pajak berganda justru merugikan bagi Wajib Pajak?
Apabila terdapatnya suatu transaksi yang merupakan tambahan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak, maka sudah seyogyanya atas penghasilan tersebut akan dikenakan pemotongan pajak namun apabila penghasilan yang diperoleh bersumber dari luat negeri, maka WP harus betul-betul memperhatikan aspek serta dampak pengenaan pajak yang terjadi apabila ternyata penghasilan tersebut telah diterima dari negara sumber yang berada di luar negeri karena pajaknya akan menjadi double.
Sementara itu, P3B yang diciptakan memiliki dua model tujuan,OECD mengatakan bahwa tujuan dengan adanya P3B untuk upaya peningkatan perdagangan internasional dengan menghilangkan pemajakan yang pemotongannya berganda secara internasional.
namun tujuan P3B dengan model UN justru lebih luas guna peningkatan dalam hal investasi asing ke negara-negera yang berkembang.
Dapat dikatakan bahwa P3B menimbulkan pajak yang menjadi ganda karena adanya prinsip perpajakan secara global  (global principle) hal ini terjadi ketika penghasilan dari luar dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisiili wajib pajak).
Kritik terhadap penerapan P3B dari akibat yang timbulkan yaitu adanya tambahan beban ekonomi bagi pengusaha sebagai Wajib Pajak, selain itu hal ini bisa menjadi pemicu pembiayaan yang tinggi dan berdampak pada ekonomi global serta menghambat mobilitas sumber global.
Seperti halnya didalam hukum publik internasional lainnya, Lotus Principle digunakan sebagai dasar hukum tax treaty. Prinsip Lotus atau Pendekatan Lotus menyatakanÂ
"sovereign states may act in any way they wish so long as they do not contravene an explicit prohibition"Â
bahwasannya setiap negara berdaulat wewenang untuk melakukan apapun as long as hal tersebut tidak bertentangan dengan prohibited secara eksplisit, artinya jika dikaitkan didalam perpajakan, tax treaty ini memiliki prinsip bahwa setiap negara memiliki kewenangannya masing-masing dalam menentukan pemajakan sepanjang tidak bertentangan dengan larangan yang sudah diatur.
Tax treaty pun sudah melalui proses perjanjian atau kesepakatan antar dua negara yurisdiksi, dan hinggat saat ini di Indonesia sudah memiliki 67 tax treaty dan juga negara-negara yurisdiksi lainnya yang terdapat pada laman resmi DJP.
Menurut Brian J. Arnold, tax treaty memiliki beberapa basis aspek, diantaranya :
- Tax treaty adalah perjanjian antara negara yang berdaulat (sovereign nations),
- Kewajiban yang muncul dari tax treaty hanya muncul untuk dua negara yang ada dalam perjanjian. Tidak untuk pihak ketiga seperti WP,
- Tax treaty mengikat untuk dua negara perjanjian dan harus dilaksanakan secara good faith,
- Biasanya bersifat bilateral (antara dua negara), tapi ada juga yang lebih dari dua negara (perjanjian multilateral),
- Tax treaty bersifat resiprokal (timbal balik),
- Tax treaty merepresentasikan aspek penting perpajakan internasional dari banyak negara,
- Mayoritas negara disusun berdasarkan bagian besar dari UN model dan OECD model.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H