Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa dan tidak adanya imbalan yang diterima secara langsung kepad Wajib Pajak. Setiap tahunnya Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan evaluasi terhadap penerimaan pada sector perpajakan untuk hampir semua jenisnya.
Apabila ternyata target yang sudah di ekspetasikan kepada seluruh Wajib Pajak tidak sesuai atau jauh dari prakira maka biasanya pemerintah cenderung melakukan penerbitan aturan baru agar semua WP dapat lebih patuh, salah satunya pemerintah menerbitkan PMK Nomor 189/PMK.03/2020 yang efektif diterbitkan 27 November Tahun 2020.
Dalam PMK tersebut mengatur bahwa setiap Wajib Pajak, wajib membayar Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak yang masih harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pelunasan, dilakukan tindakan penagihan Pajak.
Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat.
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (9) dan ayat (10) dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam hal mempunyai Utang Pajak paling sedikit 100Juta Rupoaj dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak.
Penagihan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP mengikuti daluwarsa atas surat ketetapan pajak yang menjadi dasar penagihan pajaknya.
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka ;
a. KMK Nomor 563/KMK.04/2000;
b. PMK Nomor 24/PMK.03/2008; dan
c. PMK Nomor 85/PMK.03/2010 (BN Tahun 2010 Nomor 189),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Melihat pada paragraph pertama dalam artikel ini, kenapa penerimaan target pajak terkadang meleset jauh? Tidak bisa dipungkiri bahwa sebetulnya system "Self Assessment" di Indonesia belum dilakukan secara optimal sehingga masih banyaknya Wajib Pajak terutama orang pribadi yang masih minim akan pemahaman peraturan perpajakan yang berlaku.
Selain itu kurangnya sosialisasi dari serta penyuluhan tentang perpajakan, memang sekarang ini masyarakat sudah memasuki era digital apalagi semenjak pandemic melanda maka tekhnologi pun semakin berkembang pesat, hanya saja kultur nya masih belum bisa dibenahi.
Pemerintah harus bisa melakukan agar Peraturan Pajak lebih ringkes agar mudah dipahami sekalipun untuk orang awam, saat ini peraturan terlalu banyak dan bahkan tumpeng tindih sehingga menimbulkan ambiguitas.
Oleh karenanya system Self-assesment sendiri masih memiliki banyak tantangan untuk DJP untuk memastikan seluruh Wajib Pajak patuh dan tunduk akan peraturan yang berlaku, sehingga DJP harus melakukan ekstra pengawasan serta evaluasi yang akan dituangkan dalam proses penagihan pajak.
Penagihan pajak sendiri merupakan Langkah yang pemerintah ambil untuk mengoptimalisasikan penerimaan pajak khususnya bagi Wajib Pajak yang masih memiliki hutang pajak yang belum dibayarkan. Penagihan pajak sendiri berupa Pokok Hutang Pajak serta Sanksi Denda maupun bunga.
Yang bertanggung jawab terhadap penagihan pajak yaitu orang pribadi atau badan usaha yang mendapati surat penagihan pajak (STP).
Secara sisi DJP hutang pajak WP merupakan piutang Pajak yang juga merupakan indicator kinerja untuk mengukur penerimaan pajak, disamping itu DJP akan melakukan evaluasi terhadap piutang pajak yang belum dilunasi yang sudah mencapai daluwarsanya.
Penurunan persentase pencairan piutang pajak disebabkan adanya beberapa hambatan, seperti penentuan prioritas penagihan yang belum tepat, belum optimalnya kualitas Tindakan penagihan, dan profiling Wajib Pajak / Penanggung Pajak yang masih belum merata atau penggalian profil Wajib Pajak yang tidak menyeluruh, produk hukum yang masih belum berkualitas (tumpeng tindih aturan), keterbatasan kuantitas dan kualitas juru sita pajak, sering terjadinya rotasi atau mutase pegawai pajak menjelang akhri tahun.
Hal-hal kritik yang disampaikan diatas sudah beberapa poin yang telah dibenahi oleh pemerintah, diantaranya :
- Pemberian tambahan kewenangan kepada Direktur Pemeriksaan & Penagihan sebagai pejabat untuk melakukan penagihan pajak yang sebelumnya hanya diberikan dari kepala kanwil dan kepala KPP Â (Pasal 2 ayat (2))
- Penambahan keterangan mengenai Tata Cara Penyitaan pada Lembaga Jasa Keuangan Sektor Perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Sektor Pasar Modal, dan Lembaga Jasa Keuangan Sektor lainnya. Peraturan sebelum ini yaitu hanya diakomodir dengan Tata Cara Penyitaan pada Lembaga Jasa Keuangan Perbankan.
- Penjelasan lebih rinci mengenai kelompok dan urutan Penanggung Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (Pasal 6) dan Penanggung Pajak bagi Wajib Pajak Badan (Pasal 7) berupa PT (Pasal 7 ayat (2) huruf a), BUT (Pasal 7 ayat (2) huruf b), Persekutuan Komanditer (Pasal 7 ayat (2) huruf c), Persekutuan Perdata dan Persekutuan Firma (Pasal 7 ayat (2) huruf d), Koperasi (Pasal 7 ayat (2) huruf e), Yayasan (Pasal 7 ayat (2) huruf f), Kerja Sama Operasi (Pasal 7 ayat (2) huruf g), Badan lainnya (Pasal 7 ayat (2) huruf h), dan Satuan Kerja Instansi Pemerintah (Pasal 7 ayat (2) huruf i).
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Sesuai Pasal 8 PMK 189 tahun 2020, jurusita pajak dapat melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yang diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran; tanpa didahului Surat Teguran; sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran disampaikan; atau sebelum penerbitan Surat Paksa apabila:
- Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
- Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
- Terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
- Badan akan dibubarkan oleh negara;
- Terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
- Terdapat tanda-tanda kepailitan.
Penghentian Tindakan Penagihan
Secara umum, proses tindakan penagihan akan dihentikan apabila Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, keluarnya dasar Putusan Pengadilan atau Putusan Menteri, dan terdapat kondisi tertentu lainnya seperti Penanggung Pajak menyerahkan barang lain yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Penanggung Pajak dapat membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Harta kekayaan digunakan untuk kepentingan umum dan Hak untuk melakukan Penagihan telah daluwarsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H