Mohon tunggu...
Runi
Runi Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Menulis di waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluarga Kecil

24 Agustus 2022   16:45 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:47 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah seorang istri juga seorang ibu yang bekerja sebagai karyawan swasta. Usiaku 33tahun, dan sudah memiliki seorang anak perempuan yang cantik berusia hampir 3tahun. Sebagai seorang istri, ibu dan karyawan, sebenarnya wajar bagiku untuk menceritakan keluh kesahku kepada suami. Bukan tidak bersyukur, tapi lebih menjaga kewarasan diri. 

Aku memerlukan seseorang yang bisa menjadi teman curhatku, tempat bersandarku disaat hari-hariku yang monoton terasa berat, seperti akhir-akhir ini, keadaan seperti tidak berpihak kepadaku. Mulai dari saatku berangkat ke kantor, kendaraan umum yang sering kutumpangi tidak mau berhenti untuk mengantarku, sehingga aku harus menunggu lagi selama beberapa menit dan terlambat lebih lama untuk masuk kekantor. Pekerjaanku di departemen akunting pun makin terasa membuatku kesal, karena saat ada karyawan yang mengundurkan diri, perusahaan bukan mencari seseorang untuk menggantikannya tapi malah  men-split pekerjaannya kepada karyawan lain, tidak terkecuali aku.

Cicilan dan biaya hidup juga makin berasa memberatkan dengan makin naiknya harga-harga kebutuhan hidup. Bukan aku tidak bersyukur karena banyak mengeluh, tapi sekali lagi, hanya untuk menjaga kewarasan diriku. Banyak yang berkata, hidupku terlihat mapan, suami dan diriku bekerja. Kami memiliki rumah dan mobil. Suami dan diriku bisa bergantian menjaga anak kami dan tidak membutuhkan baby sitter atau pun ART. Tapi mereka tidak melihat, walaupun kami sama-sama bekerja, kami memiliki cicilan, tagihan, bahkan orang tua dan anak yang harus kami biayai.

Belum lagi setiap kali aku pulang dan sampai kerumah, aku selalu dihadapkan dengan keadaan rumah yang  berantakan oleh remah makanan dan juga mainan anak ku. Suamiku yang akan berangkat kerja sudah menjaga anakku dari setelah aku jalan kerja sampai aku pulang kerja tidak pernah bisa membersihkan rumah atau sekedar menyapu lantai agar tidak dipenuhi semut dan remah makanan. Terkadang saat lelah, dalam hati kecilku bertanya, apakah keluargaku akan baik-baik saja bila aku hanya tinggal dirumah dan mengurus anakku? apakah kami akan lebih bahagia bila aku hanya fokus menjalankan tugasku sebagai ibu dan istri? Bukan berarti saat ini aku tidak bahagia, tapi mungkinkah akan lebih bahagia bila demikian?

Bahagia adalah sebuah kata sederhana, yang dengan mudah kutemukan saat keluarga kecilku kehabisan uang sebelum hari penggajian, tapi suamiku tetap datang dengan bahan makanan ditangannya tiap pagi sepulang dia kerja sehingga aku dapat menyiapkan makanan untuk sikecil. Yang mudah kutemukan saat stok popok atau susu anakku habis beberapa hari sebelum penggajian, tapi suamiku masih bisa membelikannya dari uang tip para pelanggan dihotel tempat dia bekerja. Yang dengan mudah kutemukan saat kami pergi jalan ketaman kota hanya untuk menemani anak kami bermain  dengan berbekal mie atau roti dan minuman dari rumah.

Suamiku seseorang yang berumur sama dan hanya lebih tua beberapa bulan dariku, memiliki  wajah seorang pria dewasa tampan tapi agak kekanak-kanakkan. Karena itu, anak perempuanku selalu disamakan dengannya. Seorang pria yang kukenal sejak aku berada dibangku SMA dan selalu berada dikelas yang sama. Yang mencuri hatiku walaupun saat itu aku sudah memiliki seorang kekasih. Berasal dari keluarga sederhana tapi agak kolot. Setelah kelulusannya dari S1 Akuntingnya dia menjadi seorang front officer  sebuah hotel pada malam hari.

Dia seorang yang tidak pernah mengeluh. Mungkin hanya sekali saat aku terjerumus pinjaman online. Bukan mengeluh, lebih tepatnya bertanya-tanya, kenapa bisa? untuk apa pinjaman tersebut? ya, dia tidak mengeluh. Dia marah, tapi dia memberikan solusi kepadaku untuk melunasinya walaupun aku tidak memberikan jawaban soal pinjaman tersebut. Sosok yang kukira belum dewasa dengan tingkahnya, tapi ternyata dia lebih dewasa dari pada orang tua kami berdua. Sosok yang mau mendengarkan keinginanku, keluh kesahku. Dia bukan hanya seorang suami bagiku, dia juga sahabat, dan partner bagiku.

Seorang suami yang mau menjaga anaknya, memberikan makan dengan tangannya, mengganti popok, bahkan mencuci bajunya. Seorang suami yang apabila berangkat kerja selalu ditanyakan keberadaannya oleh anak perempuan kami yang hampir berusia 3tahun. Seorang suami yang tidak marah hanya karena aku tidak bangun pagi untuk memasak sarapan, membersihkan rumah atau mencuci pakaian. Seorang suami yang kulihat setia karena selalu pulang tepat pada waktunya ketika aku akan berangkat kerja.

Kehidupan keluarga kecilku memang hampir sempurna, tapi keadaan seperti sedang tidak berpihak padaku. 

Jam 08.00 pagi, lagi-lagi aku yang sudah kelelahan mengejar kendaraan umum saat akan pergi bekerja tapi tetap ditinggal hanya bisa berdiam diri memandangi kendaraan itu melaju menjauh. Membuatku harus menunggu selama kurang lebih 30 menit untuk mendapatkan kendaraan berikutnya. Mungkin banyak yang bertanya kenapa aku memiliki kendaraan pribadi tapi masih menggunakan kendaraan umum untuk sampai kekantor? Selain karena aturan plat ganjil genap, ini lebih hemat dan juga karena suamiku baru saja pulang dari pekerjaannya aku takut dia tidak fokus berkendara. Menjaga anak kami bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang sulit, karena suamiku masih bisa beristirahat sambil melihat anak kami bermain di dalam rumah. Tentu saja dengan kondisi rumah yang sudah kami amankan.

Dan hampir sama juga seperti hari sebelumnya, aku mendapatkan kendaraan umum yang ugal-ugalan dijalan, berjalan tanpa menginjak rem mungkin, sehingga beberapa penumpang berpegangan pada ujung bangku mereka masing-masing mempertahankan posisi agar tidak terjungkal saat supir mengerem ditempat pemberhentian. Aku di antara perasaan senang dan takut, senang karena cepat sampai, takut bila terjadi apa-apa padaku dengan naik kendaraan umum ini. Tampak para penumpang merasa lega saat telah sampai di tujuan mereka masing-masing, begitu pula denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun