(Pengantar Pada Buku Sinisme Lele: Banyolan, Humor dan Pesan Moral Tammalele)
Tammalele, nama yang unik dan mengandung banyak filosofi bermakna serta mengundang berbagai macam interpretasi terkait sosok yang selalu kami panggil A'ba. Umurnya dipastikan telah setengah abad dan mengenal wajah dari sosok beliau sejak tahun 1999 kendati beliau mungkin tak pernah mengenalku, terlebih mungkin tak akan menyangka bahwa lebih satu dasawarsa kemudian, kami dipertemukan di sebuah rumah kontrakan yang  tepat berada di Depan Masjid Jami' Nurul Amin Desa Batulaya Kecamatan Tinambung. Rumah milik seorang polisi bernama Hammadia yang saat ini menjadi Polsek Tutar.
Tahun 2015, adalah tahun dimana saya dilahirkan pertama kali di dunia kebudayaan. Tammalele yang sejak puluhan tahun kerap saya temui di berbagai tempat yang berbeda ini muncul di kediaman kami sesaat sebelum makan siang keluarga. Beliau bersama Pak Nurdin Hamma menghabiskan waktu berdiskusi sampai 2 jam sekaligus mengajak saya berbaur mengenal budaya Mandar secara spesifik.
Pak Nurdin Hamma mengenalkan saya pada item kebudayaan bernama beru' beru' atau melati. Beru' Beru mungkin sama sistem pertumbuhannya di daerah lain, harumnya juga pasti tak berbeda. Tapi mengapa Beru' Beru' Tokandemeng begitu familiar di kalangan masyarakat Mandar?. Disinilah intinya kebudayaan dibincang. Beru' Beru' Tokandemeng hanyalah salah satu dari produk kebudayaan yang dikenal lebih pada pendekatan perlakuan manusianya yang mampu menjadikan sebuah obyek sebagai entitas dan identitas budaya.
Dalam dunia bahari (nama bekennya, maritim) ternyata sama. Perahu di Mandar dan Pelaut Mandar dikenal sebagai pelaut ulung itu ternyata bukan pada bentuk, struktur dan konstruksinya saja, tetapi lebih pada perlakuan orang Mandar terhadap perahu, bahkan pada laut itu sendiri. Perahu di dunia ini boleh jadi sama, sebab semua berlayar diperairan dan dinakhodai oleh manusia yang tentu saja memiliki kemampuan dan keahlian lebih dari yang dimiliki para sawi kappal. Ternyata bukan itu pembedanya, melainkan pada perlakuannya terhadap perahu dan alam dimana ia melayarkan perahu.
Perlakuan terhadap sebuah obyek itulah yang menandai sebuah proses peradaban dibangun oleh masyarakat menjadi entitas dan identitas kebudayaan. Beru' Beru' di Kandemeng ternyata dipetik oleh para perempuan dengan sangat lembut dan disimpan pada wadah yang juga sangat spesial. Perahu dan laut pun bagi orang Mandar diperlakukan lebih manusiawi (Istilah kerennya, Napattau-i Lopinna) sehingga dalam prosesnya perahu tak hanya menjadi sebuah benda yang berbentuk, tapi juga diperlakukan layaknya sebagai manusia, mulai dari bentuk sampai ritualnya. Status perahu yang merupakan pemberian atau warisan dari orang tuanya akan diperlakukan layaknya orang tua. Adapun perahu yang dibelinya akan diposisikan sebagai saudara, demikian juga perahu yang dibuat secara pribadi dianggap sebagai anaknya. Disinilah perlakuan itu menentukan entitas dan identitas, sebab orang Mandar dalam memesrai lautan sangat memahami betul perahu yang sementara ia gunakan melaut. Perlakuannya pasti beda antara perahu sebagai bapak, saudara dan anak. Laut dalam hal ini juga diperlakukan layaknya menemui istrinya, sehingga bentuk perlakuan terhadap istri tercintanya selalu mengedepankan sikap dan bahasa yang santun dan romantis. Maka jangan heran bahwa gelombang sebesar apapun bagi orang Mandar mampu ia taklukkan dengan hanya bi'jar berupa mantra yang dirapalkan sebagai ungkapan rasa cinta pada sang kekasih!.
Dari labirin kebudayaan inilah aku dilahirkan ketika angin sepoi berhembus dari bibir-bibir alam yang rancu. Sosok Pak Nurdin Hamma dan A'baTammalele itulah yang membidani kelahiran saya. Aku lahir bertumbuh layaknya seorang bayi yang jangankan tertawa, menangis pun belum tahu. Tammalele lah yang mengenalkan, mengajarkan, memahamkan dan menuntunku hingga sampai pada proses ini. Hari ini pun saya tetap masih berproses dan terus dipoles oleh beliau.
Mengingat jejak persinggungan saya dengan A'baTammalele dalam narasi kebudayaan tentu tak berlebihan jika kemudian saya mendaulatnya sebagai sosok Ayah atau A'ba sekaligus mendapuknya sebagai guru besar sejarah dan kebudayaan. Sebagai orangtua, ia terus melakukan berbagai pencarian dan mengajakku menelusur, meneliti dan meriset ruang-ruang tertentu dimana saya dibutuhkan untuk hadir membaca batin para leluhur. A'ba kerap hadir dan memberikan nutrisi layaknya burung yang selalu menyuplai makanan pada anaknya dalam situasi apapun.
Sampai disini, saya terkesan dengan kisah seekor burung yang meletakkan telurnya disebuah daerah bergurun. Empat biji telurnya diletakkan disarangnya dan dengan setia ia menjaganya. Ia mengeraminya beberapa hari sampai keempat telurnya tersebut menetas. Rasa cinta dan tanggung jawab pada kelangsungan hidup generasinya membuat ia tiap hari terbang jauh untuk sekedar mencari dan mengumpul bahan makanan untuk anak-anaknya. Letih, lelah tak ia rasakan demi melihat keempat anaknya tersebut bisa menikmati makanan hasil jerih payahnya.
Hari terus berlalu, tak terasa ia merasakan usianya semakin bertambah, tubuhnya melemah. Ia sedih melihat anak-anaknya belum bisa cari makan. Sementara ia merasakan kemampuan untuk mencari makan buat anak-anaknya semakin menipis. Jika ia tak lagi bisa bekerja untuk anak-anaknya, lalu siapa yang akan menafkahi anaknya? Perasaan itu kian hari menderanya, sehingga untuk tidurpun ia rasakan semakin sulit. Galau menyerangnya, bila ia tak menemukan jalan keluarnya, itu berarti alamat kehidupannya akan berakhir tragis bersama keempat anaknya. Ia bahkan berfikir untuk membunuh dan memakan anak-anaknya. Tapi urung ia lakukan, sebab apa artinya hidup tanpa mereka, bukankah ia akan lebih tersiksa hidup seorang diri?.
Fikirannya itu selalu menghantui. Ia kian tak bisa berbuat apa-apa. Jika ia mati, itu berarti kematian buat anak-anaknya yang akan memutus mata rantai kehidupan dan kelangsungan hidup bagi spesiesnya akan berakhir. Hingga kemudian ia berfikir untuk membunuh dirinya, sebagai penyambung kehidupan anak-anaknya. Yah, tak ada pilihan lain selain harus mati untuk anak-anaknya.Â
Maka dengan niat yang tulus dan berharap darah dan dagingnya akan cukup jadi menu santapan bagi anak-anaknya untuk kemudian bisa terbang mencari makanannya sendiri secara mandiri. Ia lalu mencabut bulu ekornya dan menikam dirinya. Darah segar memuncrat dan menjadi minuman buat anak-anaknya yang kehausan. Tubuhnya lunglai lalu kemudian tersungkur. Ia menghadap Tuhannya dengan sebuah kebahagiaan, karna mampu memberi yang terbaik buat anak-anaknya. Terbaik dan sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya.
Darah dan daging tersebutlah yang mereka santap setiap pagi, siang, sore dan malam. Kandungan gizi dari daging ibunya itu menjadi semangat bagi keempat anak burung itu untuk belajar terbang dan beranjak dari tempat mereka. Mereka hidup dengan kemandirian untuk menjadi diri mereka, hidup dari sebuah proses pengorbanan seorang ibu.
Kisah yang mengharukan dan sangat membanggakan. Sebuah proses kreatif untuk mempersiapkan kelangsungan hidup generasinya. Kisah dari kehidupan burung yang rela mati demi menjadi sumber kehidupan buat anak-anaknya. Lalu adakah kita bisa menemukan ibu seperti itu dikehidupan manusia?
Adakah seorang pemimpin hari ini yang rela untuk sekedar mencabut bulunya demi kelangsungan hidup rakyatnya? Adakah seorang wakil rakyat yang rela mencabut bulunya demi kesejahteraan rakyat yang diwakilinya? Adakah seorang guru yang rela mencabut bulunya untuk mempertahankan kelangsungan ilmu pengetahuan? Adakah dari golongan manusia ini yang mampu mengorbankan kenikmatan yang dia miliki demi keberlangsungan hidup dan kemanusiaan?.
Pertanyaan yang dari awal saya rasakan hanya akan kita temukan di dunia para binatang ternyata masih ada dalam kehidupan yang sebenarnya. Dialah A'baTammalele dalam kehidupan manusia. Tammalele tentu bukan kisah dalam tuturan para pendongeng ketika seorang ayah atau kakek sedang berusaha mengantar anak atau cucunya dalam kepulasan dan mimpi-mimpinya saat terlelap. A'ba Lele telah mampu menunjukkan pada dunia, pada anak-anaknya, pada murid-muridnya. Dan tentu saja, karakter itu tak akan hilang dari sosok beliau sebab orangtanya telah menitahkan kata berupa doa suci lewat nama Tammalele, tak akan berubah sikap, tak akan lekang, tetap konsisten, komitmen merawat sejarah dan kelangsungan peradaban di Mandar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI