Bubur Jewawit ?! Aneh ! Asing ! Baru dengar ! Mungkin itu reaksi kebanyakan orang ketika mendengar kata bubur jewaut disebut. Maklumlah , tanaman jewawut juga memang tak sepopuler tanaman jagung, atau kacang hijo dan sebagainya, maka tak mengerankan bila masakan bubur jewawutpun tak banyak yang kenal.
Sebatas Kenangan
Dulu, ketika penulis masih kanak-kanak tahun tujuhpuluhan, tanaman jewawut ini masih gampang ditemui. Karena masih banyak yang menanamnya, walaun tanaman jewawut ini tidak ditanam secara masal seperti padi, melainkan hanya ditananam ibarat dipojokan ujung sawah saja, sebagai pelengkap. Itupun tidak semua orang menanamnya. jadi hanya bagi siapa yang mau atau siapa yang ingin saja.
   Biasanya, yang nanam pohon jewawut disamping tanam padi, karena lahan sawahnya lumayan agak luas dikit. Atau disamping karena lahanya agak luas juga karena orang tersebut memelihara burung, Di desa, orang-orang kaya jaman dulu, biasa memelihara burung, entah itu burung perkutut, burung deruk, atau burung puter, sebagai " klangenan " atau sedikit-sedikit sebagai symbol status sosial.
   Kembali ke tanaman jewawut. Karena jewawut ini tidak ditanam secara massal, hanya sebagai saampingan saja, maka hasil produksinya pun tidak dijual. Melainkan untuk dikonsumsi memenuhi kebutuhan sendiri saja. Tanaman jewawut ini ditanam berbarengan dengan tanaman utama yaitu " padi gaga ", bukan Lady Gaga lho ( tapi padi lahan tanah kering )
   Kebetulan ayahku dulu juga menanam jewawut. Disamping untuk pakan burung, tapi juga sebagai bahan pangan alternatif and variatif, sebagaimana layaknya orang desa kebanyakan kala itu. Hanya sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, tanaman jewawut ini semakin menghilang dari sawah ladangnya para petani. Tahun delapan puluhan, tanaman jwewawut ini sudah mulai menuju kearah " kepunahan ". Ya, jangankan tanaman jewawut, tanaman padi " jenis  ndesa " yang orang awam gampang ketahui seperi padi merah atau padi hitam juga sudah ikut punah
Mesti di tumbuk ?
Pohon jewawut ini tingginya hampir sama dengan pohon " padi ndesa " jaman dulu,, yaitu  "padi gaga " yang jangkung-jangkung ( makanya kalau ditiup anging bergoyang-goyang ), bahkan bisa lebih tinggi pohon jewawaut. Ditanam ditanah kering, sawah ladang. Batang pohon jewawut ini tergolong berbatang keras, seperti batang pohon jagung dan tidak berumpun seperti tanaman padi. Jadi ya cuma satu batang saja dan menghasilkan satu tangkai buah. Tangkai biji  jewawut ini panjang, berkisar 30-an  cm dan " gemuk tebal " kaya ekor tupai. Tapi bulir bijinya sangat kecil sekali. Jadi satu tangkai jewawut akan terdiri dari beribu-ribu bulir biji
   Sebegitu kecilkah bulir biji jewawut ? Ya, kira-kira mirip biji wijen. Warnanya kuning, tapi bila sudah terkelupas kulitnya, menjadi " beras " jewawut, warnanya akan lebih kuning keemasan lagi. Lalu bagaimana cara mengulitinya ? Setahu saya, saat itu memang ya harus  atau hanya di tumbuk secara manual, menggunakan lumpang dan alu. Bukan karena faktor tradisional saja waktunya saat itu, dimana saat itu padi juga masih ditumbuk, melainkan karena kecilnya bulir biji jewawut itu, satu-satunya cara ya hanya dengan ditumbuk. ( entah kalau sekarang mungkin sudah ada alat yang lebih modern lagi ).
   Kemudian kalau sudah jadi " beras " bagaimana cara memasaknya ? Ada dua cara, yaitu dibuat bubur atau ditanak kukus seperti nasi. Kalau dibuat bubur, bubur manis, jadi ditambah gula jawa atau gula merah. Cukup direbus dengan air saja, tanpa santan. Bila ditanak kukus, dicampur dengan beras ketan,agar gampang diolah, jadi diaron dengan santan. Ini bisa dibuat manis ataupun gurih. Kalau ingin manis, santan untuk aron ditambah gula merah ( dan garam tentunya serta daun pandan ) tapi bila dibuat gurih, santan cukup diberi garam dan daun salam seperti masak nasi ketan biasa dan nanti dimakan denga kelapa parut. Adapun perbandingan beras ketan dan beras jewawut tergantung selera aja, mau dominan yang mana ?
   Dulu, ibuku sering bikin bubur jewawut. Kadang untuk sarapan pagi, kadang untuk makanan selingan. Misalnya habis pulang kerja disawaah ladang, kami menyantap bubur atau nasi ketan jewawut. Yang sering memang dibuat bubur, sebab selain lebih simple juga lebih nikmat karena habis kerja berkeringat, jadi butuh makanan yang segar berair.