Mereka itu orang desa dan rakyat biasa. Mereka tak mengenal Panti Jompo, Tapi yang mereka kenal adalah " Panti Bakti ". Itupun tidak terucapkan atau verbalis, melainkan real amalan yang menyatu begitu saja sebagai bagian dari kehidupan dirinya yang harus dilakukannya. Siapakah mereka itu ?
Tak Sebatas Pandang
Ini tetangga baruku, setelah saya pindaaah domisili. Panggilan akrabnya Iroh. Wanita desa tanpa pendidikan formal. Terlahir dalam keadaan hampir tidak bisa melihat. Dunia hanya remang-remang. Konon certanya, dulu ketika masih dalam kandungan ibunya, bapaknya , Pak Suhud namanya gemar mencari belut disawah saat musim hujan.Â
Saat itu, dia mendapati banyak, belut, mungkin karena saking asyiknya, dia lupa baca do'a serta " mantra " jawa ; " jabang bayi aja kaget " saat melumpuhkan belut dalam tangkapannya sebelum dimasukan kedalam " kepis ". Dan ketiaka anaknya lahir, kondisinya seperti itu.
Anak Pak suhud banyak, laki-laki dan perempuan, semua tujuh orang. Dan Iroh hanyalah salah satunya saja. Iroh pernah belajar pijat diluar daerah. Kini Iroh sudah berkeluarga dan suami nya tak lebih sempurna dari dirinya, alias tuna netra. Mereka tinggal di Jakarta dan mengankat anak pungut. Setiap tahun pulang kampung, mereka nampak sebagai keluarga yang bahagia walau dengan segala keterbatasan yang ada.
Kini Pak Suhud sudah beranjak masuk usia tua dan sakit-sakitan. Ia tinggal bersama anak bungsunya,laki-laki dan belum berkeluarga. Ketika kesehatannya sudah banyak berkurang, Iroh pulang dengan meninggalkan suami dan anaknya buat sementara waktu, padahal suaminya tuna netra dan anaknyapun masih kanak-kanak.Â
Padahal, saudara-saudaranya dikampung juga dekat tempat tinggalnya di desa itu juga, Â Soal repot, semua repot. Tapi Iroh rela berkorban, untuk merawat bapaknya itu, dibukanya pintu panti bakti dalam hatinya.walaupun pandangan matanya terbatas sangat, tapi hatinya jauh terbuka luas menembus batas-batas keterbatasan fisiknya untuk ayahnya.
Payung untuk ibunda.
Teman lama beda generasi alias bukan sebaya. Waktu itu aku masih kecil, baru masuk es-de, tahun tujuhpuluhan. Mas Sobirin sudah tamat es-de saat itu, dan  langssung cabut pergi jauh ke Jambi, Sumatra. Orang desa bilang pergi ketanah sebrang, dan waktu itu aku juga belum tahu persis Jambi dimana ?Â
Dia pergi karena memang ibunya sudah duluan disana, sebagai wanita desa apalagi ditahun awal-awal tujuhpuluhan atau akhir enmpuluhan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga sangat lazim. Ia bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya yang punya usaha pengolahan kayu.
Akhirnya Mas Sobirn jadi orang sana, menetap, berkeluarga dan bekerja disana bersama ibunya. Bapaknya sudah tiada. Selanjutnya taka da lagi cerita sampai waktu yang lama. Sekali dua kali, Mas Birin atau ibunya pernah juga pulang kampung dan pernah juga mengajak saudaranya untuk bekerja disana.