Gunung Merapi di Jawa Tengah, termasuk gunung berapi yang " hyper aktif " dibanding gunung berapi lainnya di Jawa. Gunungnya itu sendiri kecil, tidak tinnggi -- tinggi amat, hanya 2.930 meter. Jadi gunung Merapi itu ibarat anak kecil yang akal; banyak ulah sering bertingkah.
Kali ini, penulis berkesempatan mengunjungi Merapi, bukan untuk mendaki, tapi traveling. Lereng merapi yang dikenal cukup ramai sebagai destinasi wisata adalah lereng selatan.sebab disitu ada tempat wisata yang sudah melegenda yaitu Kaliurang yang terhubung langsung dengan Yogyakarta.
Namun, penulis tidak mengunjungi Kaliurang, melainkan yang dijadikan tujuan wisata kami, penulis dan rekan-rekan kerja, adalah tracking merapi tempat tejadinya tragedi Merapi tahun 2010 yang lalu, yang fenomenal denga tokohnya Mbah Marijan. Â Desa Kinahreja dan Kepuharjo, dua desa yang menyisakan kenangan pahit tentunya.
Untuk memasuki area daerah wisata tracking Merapi ini, sudah tersedia kendaraan mobil khusus, yaitu jeep terbuka. Banyak jasa " ojek " Â jeep wisata tracking Merapi ini, sebelum memasuki area wisata, mulai dari agak yang dekat lokasi samapai yang jauhan dengan lokasi. Kebetulan kami pilih yang paling jauhan dengan lokasi, sehingga bisa panjang perjalanan berkonvoi menuju lokasi, asyiiik !
Untuk setiap satu mobeil jeep, dinaiki tiga orang, empat dengan drivernya. Kebetulan penulis bareng dengan anak yang sudah agak gede, kami dibelakang duduk bertiga untuk mengapitnya, dan didepan satu bareng sopir. Tapi wisata ini sangat tidak direkomendasikan untuk ibu hamil dan juga anak yang masih keci, berbahaya.
Kaliadem yang tak adem.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah " rumah petilasan "-nya Mbah Marijan di Desa inahreja. Siapa sih Mbah Marijan ? Bagi sebagaian orang, mungkin mereka mengenal Mbah Marijan sebagai " bintang iklan " extra joss ! Mbah marijan adalah " sesepuh " yang mendapat amanah dari keraton Yogyakarta untuk menjadi penjaga atau " juru kunci " Gunung Merapi. Dalam kosmologi Budaya Keraton Mataram ini, Gunung Merapi -- Keraton -- dan Laut Selatan adalah satu garis lurus yang bersinergi. Dan Mbah Marijan bagian dari itu.
Rumah Mbah Marijan kini dijadikan musium. Disini kita bisa melihat sisa-sisa barang perabotan rumah tangga atau barang-barang lainnya. Barang-barangtersebut " dipupuri " abu debu Merapi, nampak muram. Terbayang bagaimana ganasnya saat peristiwa itu terjadi. Sayangnya tidak ada " guide " disitu, jadi kita tidak bisa kepo. Kalau beruntung, drivernya bisa juga dijadikan narasumber amatiran dikit-dikit tapi. Di depan rumah petilasan mbah Marijan, ada kios cenderamata.
Dari petilasan rumah Mbah Marijan ini, kami menuju ke Bunker Kaliadem. Route jalannya bukan hanya berkelok, menanjak, dan menurun, tapi sebagaian ruas jalan ada yang alami banget bebatuannya, sehingga goncangan kendaraan sangat hebat. Terlebih lagi driver memang sengaja ingin memberi " sensasi " pada penumpangnya yang terbiasa dimanjakan dengan jalan datar, mulus dan lurus , sehingga kendaraan tetap melaju dengan kecepatan  yang tetap cepat. Saat menikung atau menanjak pun demikian pula, bahkan kadang sengaja membuat sirkuit. Pendek kata penuh aksi.
Seberapa jauh jarak dari rumah petilasan Mbah marijan ke Bunker Kaliadem ? Dekat kalau ditarik garis lurus. Tapi ini kan gunung, jalan berbelok-belok setenagh melingkar, menanjak dan menurun, jadi terasa jauh. Sampai di depan bunker, pemimpin driver memberikan penjeasan singkat, kapan dibangun dan kapann diresmikan dan tujuannya dibangunnyan bunker. Â Kemudian kami memasuki ke dalam bunker, benar-benar seperti disekap, apa lagi dihuni tentunya berdesak desakan padat saat bencana, dan diluar ada bahaya lahar panas menganjam jiwa. Ditempat itulah, dikamar kecil. Mbah Marijan meregang nyawanya. Kamar kecil ada dua, dikanan-kiri pintu masuk.
Kaliadem, artinya adalah kali yang adem, dingin atau sejuk. Dalam kondisi normal ya begitu, karena didataran tinggi. Namun saat peristiwa erupsi Merapi yang mematikan itu terjadi, kali adem, berubah jadi kali panas, kali neraka, karena diterjang muntahan " bubur " lahar panas. Ingat, Desa Kinahreja ini berjarak sekitar empat kilometer dari puncak, jadi tergolong desa tertinggi.
Harta terakhir
Perjalanan ini
Tersa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan
Â
Ya, perjalanan kali ini mengingatkan pada lagunya Ebier G Ade, " Berita Kepada Kawan " yang sangat populer diakhir dasawarsa tahun tujuhpuluhan dulu. Dari bunker Kaliadem, kami menuju Desa Kepuharjo. Dalam perjalanan ini kami juga menyisir tepi tebing Gendol. Kali Gendol merupakan salah satu kali terpenting untuk menyalurkan muntahan lahar Merapi dari puncak. Sampai dilokasi, kami disambut gerbang mini yang bertuliskan ; " musium Mini Sisa Hartaku ". Disini ada dua atau rumah  yang dijadikan musium mini. Disini kita bisa melihat tengkorak sapi yang dibuat berdiri. Di dalam rumah ada berbagai macam perabotan dan juga aksesories hiasann rumah, termasuk juga benda-benda seni yaitu wayang kulit beberapa buah.
Salah satu rumah musium itu ada tertulis; " Rumah Kenangan ". Banyak foto-foto yang berkaitan dengan gunung merapi saat mulai " marah -- marah ". Â Ada foto awan panas yang membubung tinggi dengan bentuk yang aneh -- aneh. Ada juga foto saat mulut merapi memuntahkan lahar panasnya. Pendek kata kita dibawa kesuasana yang mencekam, saat terjadi erupsi tahun 2010 lalu.
Dan yang terakhir kami mampir dalam perjalanan pulang tersebut adalah ke lokasi " trek -- trekan " di Kali Kuning. Ada dibagian kali itu yang berupa kubangan air, mirip danau super mini. Disitulah jep -- jeep pada saling ngetrek, berseliweran putar sana- putar sini memotong melewati kubangan air. Ini benar -- benar uji nyali, karena ini dialam terbuka, bukan di studio atau di dufan. Oleh karena itu wisata ini juga tidak direomendasikan bagi yang jantungan ya, tahu sendiri kan ?
Begitulah, menyisir tepi merapi, ada isa kenangan sedih, dan ada waktu juga untuk menyenangkan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H