Perlu diketahui dulu, kata " manten " tersebut, huruf " e "-nya dibaca seperti pada kata misalnya " sedap ", bukan seperti pada kata misalnya " sate ". Jadi " manten " disini bukan penganten, melainkan sepadan dengan kata " mantan " kalau dalam bahasa Indonesia. Hanya saja kalau dalam bahasa Indonesia, mantan itu pengertiannya hanya sebatas " bekas " atau " eks " saja, sedang " manten " dalam bahasa Jawa tak sebatas itu, tapi ada filosofi yang tersembunyi didalamnya.
Kepala Desa ; a- historis
Sebelum membahas apakah ada kesan bagi rakyatnya , untuk kepala daerah yang kini ramai purna tugas, kita bicarakan untuk sekupe yang lebih rendah, yaitu kepala desa. Jabatan yang paling rendah dalam struktur hierarkis pemerintahan di negeri kita, adalah kepala desa. Seorang kepala desa akan berhadapan langsung dengan warganya, sehingga berbicara tentang berkesan tidaknya bagi rakyatnya, tentu lebih relevan atau real adalah kepala desa, dibanding dengan Gubernur yang jauh diatas keberadaannya..
   Interaksi kepala daerah ( gubernur ) dengan warganya secara langsung, sangatlah sedikit frekfensinya dan singkat pula durasinya. Sudah begitu, sifatnya juga lebih seremonial. Hasilnya, artifisial ! Berbeda dengan kepala desa, ia bisa " ambyar " bersama warganya dalam kegiatan non formal, nir basa  basi, seperti pada kegiatan yasinan, selamatan tetangga yang mau punya hajat, atau duduk bareng di pematang sawah setelah sama -- sama bekerja, atau nongkrong di warung kopi dan sebagainya.  Semua itu berjalan secara wajar, tanpa settingan dan bukan pencitraan .Â
hal yang seperti itu rasanya mustahil bagi seorang Kepala Daerah yang bernama Gubernur, jauh sekali. Jangankan gubernur, camat saja yang berada persis diatas kepala desa juga tak bisa sedekat itu dengan warganya.
   Namun perlu dibahas sedikit tentang istilah " kepala desa ". Istilah kepala desa, sebenarnya itu sebutan dalam bahasa Inonesia. Padahal, dalam sehari -- hari mereka berkominikasi dalam bahasa daerah mereka, dalam hal ini bahasa Jawa. Sudah barang tentu, mereka sebenarnya juga sudah punya istilah sendiri untuk menyebut pimpinan desa mereka , yaitu " l u r a h ".      Makanya daerah  atau desa mereka disebut dengan istilah kelurahan, misalnya Kelurahan Sitiadi. Dan sebutan " lurah " ini lebih pas, karena punya akar budaya sebagai pijakannya, yaitu seni budaya Jawa " wayang kuli ".Â
Dalam pewayangan, dikenal ada nama " Ki Lurah Semar ". Dan Ki Lurah Semar ini punya " momongan ", yang disebut " punokawan " jumlahnya tiga; bagong, gareng dan petruk. Semar sebagai lurah atau pemimpin, punokawan sebagai rakyatnya. Maka tak heran bila orang-orang desa menamai pemimpin mereka dengan sebutan lurah. Dan lurah sifatnya " ngemong " Â terhadap rakyatnya
   Celakanya, sekarang malah jadi sungsang balik. Istilah " lurah " malah dipakai orang kota. Mengapa tidak " Kepala Kota " ? Takut menyaingin Wali Kota ? Orang desa diberi bahasa resmi " kepala desa ". Secara bahasa memang tidak salah, tapi a-historis
Manten ; khusus Untuk Lurah
Lurah yang dimaksud disini adalah kepala desa, sebab di desa sebutan itu masih lumrah dibanding dengan sebutan kepala desa. Sebelum jabatan lurah dibatasi secara periodik ( semula lima tahun, setelah didemo jadi sembilan tahun ), terkesan " eklusif ". Tak mudah untuk menduduki jabatan lurah. Bukan masalah sulitnya urusan administrasi atau tes seleksi misalnya, tapi kesempatan waktu. Sebab saat itu jabatan lurah tak jelas batasannya. Makanya saat itu pemilihan lurah adalah peristiwa yang sangat langka sekali.
   Dan pemilihan lurah juga terkesan sakral. Budaya mistis jawa ikut mempengaruhinya. Siapa yang menang, dikaitkan dengan " pulung " atau " ndaru " atau semacam " wahyu keprabon ". Oleh karena itu seorang lurah dulu sngat dihormati ( disegani ) dan terkesan berwibawa. Rakyat juga merasa terayomi. Jadi lurah itu boleh dikata " dekat dihati " rakyatnya.