Namun  alasan dipemakaman dikampung desa itu tidak ada kijing bukan karena hukum syar'i seperti itu. Telisik punya telisik, konon tempat makam itu memang " menolak " untuk dibangun kijing. Menurut cerita, pernah ada ( yang nekad, atau bandel atau tergoda ) untuk membangun kijing, yang terjadi kemudian tanahnya " ambles ". Sehingga kemudian warga yang menguburkan jenazah disitu tak mau lagi melanggar " pamali " tersebut.
   Tentu saja hal itu sangat positif, terlebih lagi bila didasari karena hukum syar'i atau agama. Makam jadi terasa lebih longgar, lebih leluasa dan tidak cepat penuh. Dan tidak ada " persaingan "  bagus-bagusan membangun makam, atau secara " mistis " tidak ada makam yang terlihat lebih " sakral atau keramat " dibanding makam yang lainnya. Sehingga kultur mengkultuskan makam pun tidak terjadi.
" Pulang Kampung "
Melihat kenyataan mudah dan murahnya pemakaman di kampung, ada fenomena " pulang kampung " bukan mudik lebaran, tapi orang kota yang dimakamkan dikampung. Atau memilih untuk meninggal di kampung. Untuk kasus yang pertama, orang itu memang meninggal di kota, kemudian oleh keluarganya di bawa pulang ke kampung karena memang masih punya sanak saudar di kampung. Sedang kasus yang kedua, orang tua atau yang sudah sakit-sakitan, juga pilih kembali ke desa ( karena masih punya tempat ) dengan " harapan " tempat istirahatnya yang terakhir di kampung juga.
   Baik kasus " pulang kampung " yang pertama ataupun kasus yang kedua, tempat pemakaman di desa diterimanya dengan tangan terbuka. Tak ada komersialisasi sama sekali. Meninggal di kampung, don't worry be hapy !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H