Dan rumor itu kadang tiba-tiba muncul begitu saja dalam obrolan kami saat berkumpul. Â Bilakami berkumpul, takjarang kamijuga senang membicarakan tentang " memedi " alias hantu. Suasana jadi mencekam takut, tapin senang, dan asyik karena bareng bareng, persis kayak nonton film horor kalau jaman sekarang. Tentang gajah gunung, yang membuat kami takut, karena kalau gajah gunung itu habis, berarti datanglah kiamat ! ( waktu itu kami menyebutnya dengan istilah barkiamat )
Kenapa kiamat ?! Karena air laut akan meluap membanjiri dan menenggelamkan desa kami yang terletak disebelah utaranya. Sehingga kadang terlintas juga dalam benak pikiran kami saat itu, kalau begitu beruntunglah orang-orang yang tinggal di gunung sebelah utara nun jauh disana, karena akan terbebas dari  luapan air laut ( pokoknya halu banget ). Kenapa ada " paham " kiamat seperti itu ? Ditahun tujuh puluhan anak-anak desa umumnya " religius-religius " sekali, karena kalau malam pada rajin mengaji di surau atau langgar. Belum ada gangguan nonton televisi. Kalaupun malam hari main, karena pas terang bulan atau bulan purnama, adalah setelah mengaji.
Dan cerita kiamat yang kami dapati dari guru ngaji, kalau kiamat lautnya meluap sampai memporakporandakan desa-desa yang ada disekitarnya. Kebetulan pula, waktu itu dimana desa benar-benar suasananya masih  " ndesa " sekali yang  sungguh sepi, sehingga dimalam hari sering terdengar deburan ombak laut selatan dimusim-musim tertentu. Bila malam hari terjaga dari tidur dan terdengar deburan ombak itu,  membuat gelisah dansulit tidur kembali, terbayang kalau datang kiamat !
Sehingga keberdaan gajah gunung sangat berarti bagi ketenangan jiwa kami saat itu.
Trik Melewati " Padang Pasir "
ADA tradisi dari dulu ( bahkan hingga sekarang ), bila hari raya adalah saat plesir kepantai atau laut. Waktunya selama tujuh hari . Disaat itu, pantai yang dijadikan tempat wisata, banyak didirikan tempat jualan makanan atau jajanan, oleh penduduk sekitar.Â
Dan waktu itu juga pantai yang dijadikan obyek wisata tidak banyak, boleh dibilang satu kecamatan satu, karena mengikuti " jalan resmi " yang sudah ada. Dan pada hari kedelapan, dijadikan pesta syukuran oleh para pedagang, jadi pada hari itu mereka membawa " nasi tumpeng mogana " untuk dimakan bersama bagi siapapun yang ada disitu.
Karena adanya tradisi liburan kepantai pada waktu hari raya Idul Fitri seperti itu, tentu saja anak-anak biasanya full selama tujuh hari ( atau hampir full )main kepantai.Â
Dan jarak dari pemukiman terakhir atau pemukiman paling selatan ke pantai, cukup lumayan juga, sekitar seratus sampai dua ratus meter jauhnya. Umumnya orang pergi kepantai waktu itu jalan kaki. Kalaupun naik kendaraan ya sepeda onthel atau bila ramai -- ramai dengan keluarga dari kota, naik delman atau dokar. Tempat parkir kendaraan, ya dipemukiman terakhir lokasinya, sehingga siapapun harus jalan kaki menempuh " padang pasir " nantinya.
Ketika sudah dekat dengan pantai, kita akan melewati area padang pasir gajah gunung. Namanya juga anak-anak, sering tak hirau akan waktu, pas siang hari terik pergi  kepantai, atau pulang dari pantai. Tentu saja pasir itu akan tersa panas sekali. Apa akal ? Anak-anak menyiasatinya dengan memetik batang-batang pucuk pepohoonan yang ada tumbuh dikanan kiri jalan sebelum sampai  area " padang pasir " itu.Â