Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Adakah Daya Tarik Itu?

29 Mei 2023   11:49 Diperbarui: 29 Mei 2023   12:12 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ARTIS dipinang parpol. Jadilah artis itu nyaleg. Fenomena itu pernah ramai, banyak artis dipinang oleh parpol untuk maju nyaleg. Sekarangpun masih ada, hanya tidak sehiruk pikuk dahulu. Persoalannya sekkarang adalah; masih adakah daya tarik artis yang dipajang parpol untuk merebut   " kursi pileg ? "

Pemanis Golkar

KAPAN sih artis ramai -- ramai mulai " mengendus -endus " ruang parpol ? Kapan lagi kalau bukan jamannya Golkar berkuasa. Terumatama mulai tahun delapanpuluhan awal ( pemilu 82 ). Sebelum tahun itu, masih sepi, bahkan tabu, artis dekat-dekat dengan dunia politk praktis. Karena memang pintu belum dibuka atau tidak dibuka oleh sang penguasa negara.

     Saat itu artis memang belum ada tempat duduk dilembaga legislatif. Sistem pemilihannya juga belum seperti sekarang. Dulu yang dicblos gambar, siapa yang terpilih dibalik gambar, partai yang menentukan bersama restu sang penguasa. Saat itu, biar gambarnya menang, saat kampanye yang dengan model mengerahkan masa secara terbuka, dipsasanglah artis sebagai pemanis penarik massa.

     Dan saat itu yang kuasa melakukan itu ya Golkar, sebagai penguasa ( pemenang ) tunggal, dalam setiap pemilu. Sebab golkar identik dengan penguasa. Identik dengan pemerintah. Bila artis tidak mau masuk wadah yang disediakan Golkar, bisa susah dan bermasalah. Misalnya, di blaclist samaTVRI. Padahal satu - satunya lembaga siar bergambar hanya TVRI , atau ijin untuk show dipersulit dengan alasan keamanan.

     Dan saat itu artis yang berani melawan arus ya si Raja Dangdut Oma Irama. Dia dengan sadar memilih berada di parpol bukan underbow Pemerintah, yaitu PPP ( Partai Persatuan Pembangunan ) yang saat masih sangat kuat warna keislamannya, dan tinggi animo masyarakat, sehingga merupakan ancaman bagi Golkar.  Dan sebagai konsekwensinya, Oma Irama tak bisa tampil di TVRI.

Berebut Pinangan

SETELAH era reformasi, sistem pemilihan dirubah, bukan lagi memilih gambar, tapi memilih langsung orang yang dijagokan oleh parpol. Mulai saat iu, banyaklah parpol dan artis main mata lirik-lirikan. Banyaklah parpol berebut meminang artis untuk dicalegkan dalam pileg. Karena bebas, diaspora artis di parpol pun terjadi. Tak ada gamang, tak ada takut lgi untuk berada diluar Golkar.

     Walaupun demikian, fenomena banyaknya artis nyaleg karena ramainya pinangan dari parpol, boleh dibilang fungsi dasarnya masih sama, sebagai daya tarik massa. Halo efeck keartisan. Hanya saja sekarang mereka bisa masuk kelingkaran kekuasaan poloitik sebagai anggauta legislatif. Soal nanti akan duduk dikomisi mana, itu urusan belakang, parpol biasa bagi-bagi jatah kedudukan dan pemerintah juga biasa bagi-bagi kursi sesama parpol pendukung koalisi.

     Pada masa-masa awal peralihan sistem pemilihan seperti itu,  boleh jadi pemasangan artis sebagai daya tarik bagi pemilih, mungkin masaih  ( agak ) efektif. Artinya masih laku jual. Dan saat itu, dunia keartisan juga masih bersinar dan masih terkonsentrasi dekat diwilayah pusat kekuasaan. Sehingga terasa syah-syah saja memasang artis untuk ikut nyaleg.

Mengukur Daya Tarik

DAN KALAU sekarang ( masih ) ada parpol yang mengususng artis untuk dijagokan dalam pileg, atas dasar apa ? Apakah artis sekarang masih punya daya tarik bagi massa untuk memilihnya ? Apakah artis sekarang masih punya kharisma ? ( Kecuali Nela Kharisma ya .... Tuh namanya saja sudah " berkharisma " ). Cobalah kita lihat artis-artis jaman sekarang.

     Kita mulai lihat artis ibu kota. Satu hal yang perlu kita sadari bersama, artis ibu kota sekarang sudah tidak " segemerlap " dimata publik seperti dahulu. Apa lagi bila artis-artis itu hanya dibesarkan diruang " Gosip Selebritis ", yang minim ( klau tidak dikatakan malah nihil ) prestasi seni. Kalau itu terlalu " tinggi ", yah ... sekedar jejak seni yang berarti. Pribadi seniman yang berkarkter tidak terbentuk. Dengan prototype seperti itu, apa yang bisa mereka " jual " kepada publik untuk duduk dikursi legislatif ?  Sebab, berbicara tentang caleg, kita tidak bisa mengabaikan unsur kapabilitas. Sebab tanpa kapabilitas, mereka bukan apa-apa, juga bukan siapa-siapa, bila tidak bisa apa-apa !

     Sedangkan untuk artis daerah ( lokal ) memang kepopuleran mereka dikalangan masyarakat akar rmput, boleh dibilang cukup lumayan, karena ditopang oleh genre musik yang merakyat, yaitu dangdut koplo dan ditunjang dengan chanel Youtube yang bisa diakses tanpa pbatas tanpa sekat oleh segenap kalangan masyarakat. Namun secara sosiologis, artis daerah ini menghadapi tantangan harus mampu hidup dengan kultur metropolitan yang berwawasan keintelektualan. Dengan kata lain, tidak cukup hanya berbekal keartisan semata, walaupun misalnya secara finansial juga mendukung. Sebab menjadi anggauta legislatif itu bukan lagi kontes ayu dan kaya, tapi kontes adu kepintaran pemikiran.

Bukan Apriori

MA'AF bukannya saya apriori terhadap kemapuan para artis, sebab sayapun respec terhadap para artis yang komit dengan keartisan mereka yang diwujudkan dengan karya yang berjejak. Tanpa harus " ngoyoworo " masuk kedunia politik, karena memang buka bidangnya, tapi mereka tetap diperhingkan dalam dunia keartisan mereka. Dalam group musik ada Bimbo, ada Ebiet, ada Iwan F. dalam dunia film ada Garin  Nugoho, Cristine hakim. Dalam dunia sintron ada Dedi Setiadi dan almarhum Irwinsyah dan lain-lainya.

     Kita juga tak bisa menutup mata, mereka yang sebenarnya kuat dalam berseni, namun ketika masuk kedunia politik, karena daya tariknya sebagai artis dulu, hanya berprestasi biasa-biasa saja. Dedy Mizwar dan Rano Karno contohnya. Sinetron religius Lorong Waktu-nya Dedy Mizwar, yang diputar setia sore saat Ramadhan dulu, siapa yang tak suka ? Dan sinetron berlatar belakang budaya Betawi, si Doel Anak Sekolahan, siapa yang tak suka pula ?

     Dan lagi-lagi saya harus jujur, ada artis yang sukses dua-duanya, yaitu Sophan Sophian. Sebagai pemain film dan sutradara, dia tergolong papan atas. Pernah dapat piala citra untuk film Letnan Harahap yang dibintangi Kaharudinsyah. Sebagai anggauta legislatif dibawah naungan PDIP, dia " sukses " ( bukan dalam arti mengumpulkan harta yang banyak sebagai anggauta dewan ), melainkan sukses memerankan dirinya sebagai anggauta dewan yang bisa bersuara vocal, menunjukan kepribadian dirinya untuk menyuarakan hati nurani rakyat yang diwakilinya. Bukan angauta legislatif yang a n o n I m !

     Jadi artis nyaleg ya syah -- syah saja. Tapi tak perlu memaksakan diri. Melainkan realistis sajalah dengan kemapuan diri yang dimilkinya. Saya pikir itu malah lebih bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun