Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Dan "Buka Lapak" Itupun Ikut Tutup

26 Mei 2023   08:49 Diperbarui: 26 Mei 2023   09:18 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WAKTU masih sekolah, bagiku Toko Buku itu merupakan tempat yang " mewah " dan tak terjangkau. Biarpun untuk toko buku yang kecil dan sederhana sekalipun. Tak terjangkau dari dua lapis, tempat dan kemampuan kantong. Yang pertama, karena saat masih dudk dibangku SD dan SMP berdomisili di desa, tahun tujuh puluhan hingga delapan puluhan, di desa yang namanya toko buku tentu tidak ada. Yang ada hanya di kota-kota tertentu, misalnya kota kabupaten yang lumayan jauh jaraknya, ditambah transportasi umum juga belum mendukung.

      Walaupun demikian, bukan berarti pula saya tidak pernah beli buku sama sekali di toko buku. Dasar suka baca, berhasil juga merengek-rengek pada orsng tua agar beli buku pelajaran untuk pelajaran bahasa Indonesia. Disekolah, waktu itu tidak ada buku paket. Yang pegang buku cuma gurunya, atau satu dua anak yang kebetulan orang tuanya jadi guru. Kebetulan teman saya  samping rumah, orang tuanya guru dan ada anaknya yang disekolahkan dikota. Nah orang tuaku nitip untuk dibelikan buku sama dia.

     Karena dia kost, maka harus menunggu satu minggu ... lamanya ! Masih kuingat, judul bukunya " Bahasa Kita ". Pengarang dan penerbitnya, tentu saya tidak perhatian sampai kesitu, karena masih kanak -- kanak. Tapi masih ku ingat benar, tokoh --tokoh dalam bacaan cerita tersebut adalah Toto, Rina dan Adi, yang bapaknya jadi pengusaha punya pabrik gula di Sokaraja ( Banyumas ). Mungkin penulis buku itu orang sekitar daerah itu. Sayangnya , bukunya itu kini sudah hilang.

     Sedangkan majalah yang pertama kali di beli ditoko buku adalah majalah Intisari, terbitan Gramedia. Kenapa Intisari, kebetulankah ? Tidak juga. Saat itu, majalah yang " banyak " saya baca adalah majalah Intisari. Sebabnya, teman sekelas saya kakaknya ada yang bekerja dikota, kalau pulang bawa majalah Intisari. Kemudian oleh temanku itu, dibawa juga kesekolah, jadilah seperti piala bergilir. Ingat, waktu itu tahun 78, bahan  bacaan sangat langka didesa. Kembali ke majalah Intisari yang saya beli, kok bisa ?

     Waktu itu tahun 81, saya sudah tamat SMP dan hendak melanjutkan dikota yang lebih jauh, karena diajak dibujuk oleh tetangga saya yang guru. Untuk itu saya pergi beberapa kali dan harus naik bus antar kota. Pernah suatu kali, saya beli koran ( Kompas ) yang dijajakan oleh pedagang asongan di bus. Sekali lagi saya nekad beli, itulah pengalaman saya beli koran pertama kali. Dan sekali lagi, bukan karena uang saya banyak, tapi karena nggak beli apa -- apa dalam perjalanan, demi koran. Nah dikoran itu ada iklan majalah Intisari, saya terbujuk " cerita kriminal " pada rubrik majalah tersebut.

     Nah, pada kesempatan waktu lainnya, ketika saya harus kembali ke kota tersebut, pulangnya sebelum ganti kendaraan kampung, saya mampir ke pasar Tumenggungan Kebumen. Disitu ada kios buku ( Bukan Toko Buku ) yang bernama kalau tidak salah " Kios Buku Mass Media "  yang " nylempit " diantara kiois -- kios yang lain dipasar. Tapi kios buku itu sangat  terkenal  pada masa itu. Cari majalah atau buku buku bacaan ya distu.. Oh ya saat itu, majalah selain Intisari yang saya kenal ( artinya beberapa kali pernah baca, adalah Kartini ). Saya kenal dengan majalah, adalah lewat majalah-majalah bekas. Kios itu kini sudah tidak ada, pasarnya juga sudah berubah rupa, karena direnovasi.

Numpang  Baca

WAKTU kuliyah di Jogja, mulailah saya bersinggungan dengan toko buku, walau intensitasnya juga masih rendah. Kalau ini berkaitan dengan kemampuan kocek, dan ada kompensasi lainnya, banyak perpustakaan sebagai tempat pelarian. Toko Buku anyar yang saya sambangi pertama adalah " Gunung Agung ". Di dekat kampus, ada entah bekas usaha apa, tapi rupanya sudah lama macet dan terkesan terbengkelai, kemudian dibeli oleh Haji Massagung, dan dijadikan Toko Buku. Nah distu saya sering berkunjung, apa lagi kadang juga ada pemutaran cermah keagamaan.

     Umumnya, toko buku, atau pun kios buku saat itu masih " ramah " pengunjung. Artinya, kita bisa baca atau boleh baca -- baca ditempat, atau lihat -- lihat isinya, sekalipun kita tidak beli. Sebab saat itu umumnya buku -- buku yang dijual tidak disegel dengan sampul plastik, beda dengan sekarang. Adapun buku pertama yang saya beli secara langsung itu adalah Buku Kumpulan Cerpen yang berjudul " Berhala " karangan Danarto.

     Sayangnya, toko buku itu tidak lama, karena setelah dibangun lebih modern, berganti menjadi mall. Terpampang nama komersil " TOPAZ " diwajah gedung lengkap dengan ikon produknya. Saya tidak tahu persis, apakah toko buku Gunung Agung-nya masih terintegrasi didalamnya atau tidak, sebab saya tidak berani lagi berkunjung kesitu setelah ganti wajah, saya beralaih banyak ke Toko Buku Kampus.

" Buka Lapak "

SEBELUM tahun dua ribu, toko buku dan " buka lapak " ( bukan nama situs di internet ya , tapi  pedagang loak) boleh dibilang masih ramai. Di jogja, toko buku yang cukup terkenal misalnya adalah Gramedia. Dan pusat buka lapak yang terkenal adalah di " shoping " pasar Beringharjo. Buka lapak saat itu sangat banyak, ditepi -- tepi jalan tertentu, atau disudut-sudut kampus, biasanya juga bermunculan. Haarga buku di bua lapak tentu lebih miring,klau bisa menawar, karena bukan asli ( bajakan ? ). Bagi pengunjung, yang dicari adalah murahnya.

     Namun perlu diketahui juga, buka lapak tidak mesti jual buku bajakan. Banyak dijual buku buku bekas yang sudah langka. Kwalitasnya fisiknya kadang juga masih bagus. tentang isi, tergantung kebutuhan materi tentang apa yang kita cari atau kita dapatkan. Bagi kutu buku, buka lapak loak ini ibarat rimba eksporer buku, untuk mendapatkan buku yang unik isinya dan langka, eklusif dan eksotis.

     Jadi antara toko buku dan " buka lapak " saat itu bisa " seiring sejalan seirama ". Kapan kita ke toko buku dan kapan kita ke " buka lapak " sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Kalau memang adanya di toko buku ya kita ke toko buku, biarpun sedikit mahal. Kalau kita memang sedang iseng -- iseng, ekplor cari yang jarang ada, kita lari ke " buka lapak ".

Posisi Pembaca

TAK BISA dipungkiri, tak bisa dihindari, banyak aspek kehidupan yang terkena imbasnya oleh kemajuan  teknologi  informasi. Termasuk dunia literasi, yang semula bermedia cetak kini mulai diganggu dunia digital ( online ). Koran dan majalah banyak yang tutup atau beralih ke online atau versi cetak masih ada juga ( terbatas oplaghnya dan tipis wujudnya ) dibarengi dengan yang versi online. Dan buku pun sudah mulai banyak yang masuk ke e-book. Perpindahan dari cetak ke online, sebenarnya ini kehendak siapa ???

     Hal itu penting untuk dibahas,  agar tidak " menyalahkan " minat baca yang rendah yang selama ini sering kita dengar dan cukup santer tuduhan seperti itu. Penulis yakin, para pembaca pecinta buku atau koran atau majalah, sebenarnya lebih nyaman dan lebih aman dan lebih sehat, baca yang versi cetak, bukan yang elektronik. Tapi maunya dunia industri kita pembaca " dipaksa " untuk akrab dengan dunia bacaan online, karena perhitungan bisnis. Bukankah " kompasiana " ini juga merupakan jawaban atas semuanya itu ?

     Terlebih lagi " gadget " besifat portable, semakin lengket ditangan anak-anak muda. Isi gadget yang lebih " hidup " juga semakin lebih menarik. Tapi dari segi konten yang bersifat tulisan, tentu memiliki " kelemahan ilmiah " dan ini sering diabaikan atau bahkan dianggap tidak ada, sehingga diterima apa adanya dengan ikhlas hati, tanpa salah dan tanpa masalah.

Jadi kalau sekarang minat baca rendah terhadap literasi versi cetak atau buku, yang berimbas banyaknya toko buku yang tutup, sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan para pembaca pencinta buku. Mohon untuk dimengerti.

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun