SEBELUM tahun dua ribu, toko buku dan " buka lapak " ( bukan nama situs di internet ya , tapi  pedagang loak) boleh dibilang masih ramai. Di jogja, toko buku yang cukup terkenal misalnya adalah Gramedia. Dan pusat buka lapak yang terkenal adalah di " shoping " pasar Beringharjo. Buka lapak saat itu sangat banyak, ditepi -- tepi jalan tertentu, atau disudut-sudut kampus, biasanya juga bermunculan. Haarga buku di bua lapak tentu lebih miring,klau bisa menawar, karena bukan asli ( bajakan ? ). Bagi pengunjung, yang dicari adalah murahnya.
   Namun perlu diketahui juga, buka lapak tidak mesti jual buku bajakan. Banyak dijual buku buku bekas yang sudah langka. Kwalitasnya fisiknya kadang juga masih bagus. tentang isi, tergantung kebutuhan materi tentang apa yang kita cari atau kita dapatkan. Bagi kutu buku, buka lapak loak ini ibarat rimba eksporer buku, untuk mendapatkan buku yang unik isinya dan langka, eklusif dan eksotis.
   Jadi antara toko buku dan " buka lapak " saat itu bisa " seiring sejalan seirama ". Kapan kita ke toko buku dan kapan kita ke " buka lapak " sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Kalau memang adanya di toko buku ya kita ke toko buku, biarpun sedikit mahal. Kalau kita memang sedang iseng -- iseng, ekplor cari yang jarang ada, kita lari ke " buka lapak ".
Posisi Pembaca
TAK BISA dipungkiri, tak bisa dihindari, banyak aspek kehidupan yang terkena imbasnya oleh kemajuan  teknologi  informasi. Termasuk dunia literasi, yang semula bermedia cetak kini mulai diganggu dunia digital ( online ). Koran dan majalah banyak yang tutup atau beralih ke online atau versi cetak masih ada juga ( terbatas oplaghnya dan tipis wujudnya ) dibarengi dengan yang versi online. Dan buku pun sudah mulai banyak yang masuk ke e-book. Perpindahan dari cetak ke online, sebenarnya ini kehendak siapa ???
   Hal itu penting untuk dibahas,  agar tidak " menyalahkan " minat baca yang rendah yang selama ini sering kita dengar dan cukup santer tuduhan seperti itu. Penulis yakin, para pembaca pecinta buku atau koran atau majalah, sebenarnya lebih nyaman dan lebih aman dan lebih sehat, baca yang versi cetak, bukan yang elektronik. Tapi maunya dunia industri kita pembaca " dipaksa " untuk akrab dengan dunia bacaan online, karena perhitungan bisnis. Bukankah " kompasiana " ini juga merupakan jawaban atas semuanya itu ?
   Terlebih lagi " gadget " besifat portable, semakin lengket ditangan anak-anak muda. Isi gadget yang lebih " hidup " juga semakin lebih menarik. Tapi dari segi konten yang bersifat tulisan, tentu memiliki " kelemahan ilmiah " dan ini sering diabaikan atau bahkan dianggap tidak ada, sehingga diterima apa adanya dengan ikhlas hati, tanpa salah dan tanpa masalah.
Jadi kalau sekarang minat baca rendah terhadap literasi versi cetak atau buku, yang berimbas banyaknya toko buku yang tutup, sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan para pembaca pencinta buku. Mohon untuk dimengerti.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H