MARILAH kita berprasangka baik pada diri kita masing -- masing. Katakanlah kita semua sudah melaksanakanibadah puasa ramadah dengan baik, plus paket lebarannya juga, sehingga kta dalam keadaan kejiwaan yang fitri. Masalahnya, Â moment seperti itu akan segera berakhir dan berlalu. Bulan " sakral " sudah lewat, selanjutnya kita memasuki bulan-bulan yang " profan "keduniawian. Terus nasib " kefitrian " kita bagaimana selanjutnya ?
   Kemarin kita suci, tapi kini kta harus " nyemplung " lagi dengan kehidupan sehari-hari. Cipratan noda dosa tentu tak terhindar lagi. Karena kita manusia biasa, yang tak lepas dari khilaf salah dan dosa. Nasib kefitrian kita selanjutnya bagaimana ? semakin jauh meninggalkan bulan suci ramadhan dan paket lengkap lebarannya, sementara  diujung depan kita semakin dalam memasuki bulan -- bulan biasa, sediki atau banyak , noda dosa kita juga bertambah. Nasib kefitrian kita tambah bagaimana ?
   Nah, disinilah pentingnya " ibadah ulangan ". Disaat kita telah jauh blusukan memasuki bulan -- bulan profan, kita ketemu lagi dengan bulan suci ranmadhan tahun berikutnya. Kita bersihkan lagi dosa-dosa  kita, kita intensifkan lagi puasa kita beserta ibadah yang lainnya. Nah dengan adanya ulangan ini, kefirian kita selalu diperbaharui. Disisi lain. ibadah ulangan ini ibarat " charger " bagi ruhani kita agar tetap punya power baru untuk melakukan ibadah berikutnya.
   Jadi setelah hari yang fitri secara formal usai, karena kita ingin menjaga kefitrian kita maka hanya diam saja, tentu itu kliru. Baraktifitaslah  seperti biasa, jangan lupa, saat -- saat pendinginan  kita temui kita lakukan sebaik-baiknya, karena itu merupakan moment untuk membersihkan jiwa kita sebelum sampai ke 'iedul fitri berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H