Pendidikan adalah proses belajar seseorang untuk mendapat nilai, norma, dan pengetahuan yang baru. Mendapatkan pendidikan adalah hak setiap anak-anak bangsa. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 9 (1) menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB (Sustainable Development Goals/SDGs) tepatnya pada Tujuan ke-4 juga menyebutkan hal ini. Tujuan ke-4 yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
Sayangnya, meskipun sudah dilakukan berbagai upaya, sampai sekarang pun pendidikan di Indonesia masih mengalami kesenjangan baik secara kualitas pendidikan maupun kuantitas peserta didik. Dalam pendidikan, faktor utama yang menyebabkan kesenjangan adalah ekonomi dan sosial. Kesenjangan sosial sendiri merupakan keadaan yang tidak diharapkan dan terjadi perbedaan mencolok antarkelas sosial.
Jumlah sekolah yang ada di Indonesia sudah berjumlah cukup banyak hingga mencapai puluhan ribu. Namun, kuantitas yang banyak tidak selalu mencerminkan kualitas yang baik. Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mencoba berbagai hal untuk meningkatkan kualitas sekolah. Salah satu upaya tersebut dapat kita cermati dalam Surat Edaran Mendagri nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan SD. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa pemerintah akan melakukan penggabungan atau regrouping terhadap sekolah dasar. Tujuan dari upaya tersebut adalah untuk menghemat biaya pendidikan dan menciptakan proses belajar yang efektif di sekolah. Selain itu, kebijakan ini nantinya diharapkan dapat menjadi solusi atas masih kurangnya jumlah pengajar di setiap sekolah. Namun, kebijakan ini mengakibatkan jumlah SD negeri berkurang. Walaupun demikian, jumlah sekolah tidak lantas semakin sedikit, karena pihak swasta pun terus membangun sekolah untuk menggantikan sekolah negeri yang jumlahnya berkurang. Berikut data jumlah sekolah yang ada di Indonesia pada tahun 2019:
Kualitas pendidikan di Indonesia yang masih belum setara serta biaya menjadi faktor penting mengapa banyak peserta didik yang putus sekolah. Pada tahun 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) sendiri mengungkapkan data angka anak putus sekolah di Indonesia. Ada sekitar 4,3 juta siswa di Indonesia putus sekolah di berbagai jenjang. 54% diantaranya karena ekonomi, mereka tidak punya biaya dan harus bekerja, sisanya karena cacat tubuh dan pernikahan usia dini. Angka putus sekolah terbesar berada di pulau Jawa. Separuh dari 4,3 juta siswa putus sekolah berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. “Angka partisipasi kasar di Jawa Barat 77,82% dan di Jawa Timur 84,80%. Angka ini tergolong besar ketika melihat jumlah penduduk mereka yang usia sekolah” ujar Amich. Data angka putus sekolah dapat dilihat di bawah ini:
Sumber: SUSENAS BPS, 2019.
*Dihitung dengan rumus APTS dari SUSENAS BPS, dengan membagi jumlah peserta didik yang tidak bersekolah dan yang bersekolah pada kategori umur tertentu dan dikalikan 100%. Penghitungannya dapat dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan umur per jenjang pendidikan, yaitu 7-12 tahun, 13-15 tahun, 16-18 tahun, dan 19-24 tahun.
*Cara membaca: Jika pada tingkat SMP angka putus sekolahnya 1.07%, artinya secara rata-rata dari 100 penduduk berusia 13-12 tahun yang sedang atau pernah bersekolah terdapat sekitar 1 orang yang putus sekolah.
Masih banyaknya peserta didik yang putus sekolah kemudian menjadi pertanyaan besar, mengingat anggaran pendidikan yang dialokasikan oleh Kemendikbud yang semakin naik setiap tahunnya. Berikut anggaran dana pendidikan dari 5 tahun terakhir:
Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), penyebab putus sekolah antara lain; latar belakang pendidikan orang tua, lemahnya ekonomi keluarga, kurangnya minat anak untuk bersekolah, kondisi lingkungan tempat tinggal anak hingga pandangan masyarakat terhadap pendidikan. Hasil survei ini juga mendukung pernyataan yang diberikan oleh ketua Bappenas. Tidak bisa dipungkiri, pendidikan di Indonesia memang masih dianggap mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian kalangan masyarakat. Jumlah sekolah yang belum mencukupi dan memadai di setiap pulau menyebabkan program pendidikan gratis belum dapat menjangkau semua masyarakat yang membutuhkannya. Akibatnya, banyak anak usia sekolah dan kuliah (7-21 tahun) yang terpaksa putus sekolah karena masalah biaya. Akhirnya, mau tak mau mereka terpaksa menjadi pekerja anak, anak jalanan, ataupun menganggur.
Pekerja anak sendiri sebenarnya bermula dari budaya membantu orang tua. Namun, makin lama pekerja anak menjadi alternatif utama anak-anak yang putus sekolah. Beberapa orang tua bahkan menganggap pendidikan tidak penting karena ilmu bisa didapat lewat bekerja. Selain itu, dengan bekerja, anak dapat mengurangi beban ekonomi orang tua dan menambah penghasilan keluarga. Contoh konkretnya, di Desa Kampung Beru, Kecamatan Takalar, pendidikan dianggap bukan solusi meningkatkan taraf hidup (Lisa Hikmah, 2016). Menurut penduduk, lebih baik anak bekerja dan menjadi mandiri, lagipula pekerjaan yang tersedia di desa itu, seperti petani, hanya membutuhkan fisik dan tidak terlalu memerlukan kemampuan otak. Rupanya, pada masyarakat tradisional, anak hanya dianggap sebagai aset ekonomi yang dapat dan sebisa mungkin ikut dalam peran ekonomi.
Alasan-alasan tersebut menyebabkan jumlah pekerja anak di Indonesia semakin banyak dari tahun ke tahun. Pekerja anak sendiri adalah pekerja yang berumur 10-17 tahun. Pada tahun 2017 terdapat 1,2 juta pekerja anak di Indonesia, dan meningkat 0,4 juta atau menjadi sekitar 1,6 juta pada tahun 2019 (BPS, 2019). Selain itu, survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2019 mendata masih ada sekitar 1,6 juta anak berusia 10-17 tahun yang "terpaksa" bekerja. Hal tersebut membuktikan betapa terpuruknya keadaan 1,6 juta anak-anak Indonesia, dimana karena alasan ekonomi, mereka harus mengorbankan masa pertumbuhannya yang seharusnya mendapatkan pembelajaran menjadi mencari nafkah. Data di bawah ini menunjukkan jumlah pekerja anak tertinggi di beberapa daerah di Indonesia:
Tingginya jumlah peserta didik yang putus sekolah dan yang menjadi pekerja anak ikut andil dalam jumlah individu yang berhasil sampai di bangku kuliah. Dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang berusia kuliah, pada 2018 hanya terdapat 8 juta orang yang berhasil meraih pendidikan tinggi. Berikut daftar jumlah mahasiswa di Indonesia:
Referensi
- Hikmah, Lisa. 2016. Kemiskinan dan Putus Sekolah. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi. https://media.neliti.com/media/publications/61063-ID-kemiskinan-dan-putus-sekolah.pdf
- Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2019, Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id
- Statistik Pendidikan Tinggi Tahun 2018. Kemenristekdikti. https://pddikti.kemdikbud.go.id.
- Andini, Ayu. Syaifudin, Nanang. 2020. Pekerja anak di Indonesia masih jauh dari nol. Lokadata.id. https://lokadata.id/artikel/pekerja-anak-di-indonesia-masih-jauh-dari-nol
- Prihatini, Eneng Nurul. 2020. Kesenjangan Dalam Dunia Pendidikan Indonesia. Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/enengnurulprihatini/5e9168eb097f361d2e20d465/kesenjangan-dalam-dunia-pendidikan-indonesia
- Putra, Ilham Pratama. 2020. 4,3 Juta Siswa Putus Sekolah di 2019. Medcom.id. https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/9K50Pl3k-4-3-juta-siswa-putus-sekolah-di-2019#:~:text=Jakarta%3A%20Kementerian%20Perencanaan%20Pembangunan%20Nasional,putus%20sekolah%20di%20berbagai%20jenjang
- Valenta, Elisa. 2019. Infografik: Anak-anak yang putus sekolah. Lokadata.id. https://lokadata.id/artikel/infografik-anak-anak-yang-putus-sekolah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H