Perjalanan malam ini mengingatkan aku pada masa 30 tahun yang lalu. Ketika itu, kami pulang ke kampung halaman juga bertiga seperti keberangkatan kami malam ini. Semula, aku merencanakan semuanya ikut serta. Akibatnya, aku sudah membayangkan betapa hebohnya suasana di dalam mobil yang penuh sesak. Di samping peserta yang memenuhi seluruh mobil, uba rampe yang mesti dipersiapkan pasti semakin membengkak.
Akan tetapi, akhirnya kami hanya berangkat bertiga saja.
"Kamu mau ikutan nggak, Ndhuk?"
"Kalau diajak ikut. Kalau nggak diajak nggak apa -apa."
"Ikut saja, ya. Rumah biar ditunggui Kang Paino."
"Nggak ah. Aku tak di rumah saja."
"Lha minta ditemani siapa kalau mau di rumah?"
"Nasya."
Ninda tak mau ikutan. Eh, lha kok Hani dan kedua anaknya tidak ikutan juga. Sepertinya mereka lebih merasa nyaman dan enjoy berada di rumah. Lagi pula, di balai desa ada pertunjukan wayang golek acara sedekah bumi. Di samping itu, Fikri juga lagi kurang sehat. Sepertinya, mereka berempat tidak tertarik sama sekali dengan kepergian kami malam ini.
"Lha, kamu nggak ikut kenapa, Ndhuk. Mbok ikut saja."
"Boten Pak _e. Saya akan di rumah saja."
"Lala, atau Fikri ayo ikutan Akung."
"Lala sama Fikri mau nemenin Mama di rumah. Kan kasihan Mama kalau di rumah sendirian."
"Sudahlah, kita berangkat bertiga gak papa."Jawabku mengakhiri polemik keikutsertaan mereka.
Ada pesan sangat mendalam pada perjalanan bertiga ini. Kenangan masa 39 tahun yang lalu segera berbaris rajin, membentuk sebuah rute perjalanan hidup yang teramat mengharukan. Setidaknya, itulah yang aku rasakan.
Ada sensasi tersendiri karenanya. Pada masa 30 tahun yang lalu, kami mesti naik turun bus bertiga. Sementara kini, kami tidak lagi mesti menunggu antrian bus hingga berdesakan dengan penumpang lainnya. Alhamdulillah. Nikmat Tuhan mana yang akan kami dustakan?
Bandar Batang,
17 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H