Mohon tunggu...
Rumail Segaf
Rumail Segaf Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku hadir dalam kata. Kata yang tidak akan pernah kamu temukan dalam kamus mana pun. Kata yang tidak akan kamu dapati maknanya dalam bahasa apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Leterljik

26 Oktober 2011   22:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kuntowijoyo benar, bahwa kemajuan itu cumulative (bertam-bah) dan kebenaran adalah non-cumulative (tak dapat bertam-bah). Agama, filsafat, dan kesenian termasuk kategori ko-nstan, tak dapat bertambah. Oleh karenanya di sepan-jang zaman masyara-kat masih dapat me-nerima kebijaksanaan Nabi Isa as., filsafat politik Jean Jacques Ros-seau, atau bahkan musik Beethoven, akan tetapi belum tentu masih menerima teori Newton, atau konsep kedokteran ala Ibn Sina (aveseen).

Mungkin juga, banyak orang islam sendiri yang masih kelimpungan dan sangsi tentang ke-mungkinan teks islam yang berasal dari abad ke-7 ini sanggup menjadi ilmu moderen atau metodologi epistemik yang menjadi paradigma alternatif ketika bias-bias pragmatik mendominasi dan terlihat belangnya. Sehingga, dari catatan sejarah muncul perdebatan antara kaum intelektualis (baca: ulama) yang memunculkan juga paradigma-paradigma yang bervarian. Untuk itulah, perlu penjelasan definitif akan tema yang secara yakin menunjukkan bahwa Islam yang otentik memang benar-benar mempunyai dan mampu berfungsi structuring, baik sebagai agama maupun sebagai ilmu.

Modal utamanya adalah menjadikan Islam sebagai paradigma. Disini, sependapat dengan Kuntowijoyo, penulis menerjemahkan "para-digma" sebagaimana Thomas Khun mema-haminya: bahwa realitas sosial itu dikons-truksikan oleh mode of thought or mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan me-lahirkan mode of knowing tertentu pula. (mode of knowing, atau cara mengetahui, red.). Karl Marx menyebutnya sebagai tema ideologi. Im-manuel Khan menyebutnya sebagai skema konseptual. Dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa.

Quran sendiri memang banyak melahirkan konsep-konsep ideal tentang berbagai hal dan Sunna menjadi penjelasnya secara apriorik, jika, kita melihat nash tersebut secara lebih. Ketika banyak amstal yang dimaktubkan Quran, dan penjelasan-penjelasan historik oleh ceritera Rasul dalam sunnahnya, bukan cerita tersebut yang semata kita lihat, akan tetapi lebih dari itu. Bukan bukti objektif-empiriknya yang penting, tapita'wil subyektif-normatifnya yang perlu ditonjolkan. Lewat semua ini kita diperkenalkan ideal-type tentang konsep-konsep, dan mengenal arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal.
Bahkan lebih dari itu, nash mampu menjadi subyek di tataran Objektif. (nah, masuk ke dalam pembahasan islam sebagai ilmu). Lewat integrasi ilmu sekuler dan non-sekuler, kesemua konsep dalam nash yang terbilang normative, akan se-cara semantik yang unik mengkaitannya dengan matrik struktur normative dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan nash dipahami. Maka, sedikit banyak kita akan memahami konteks dan permasalahan empirik sebagaimana nash mema-haminya. Inilah weltanschaung islam. Karena seharusnya umat memandang kebenaran lewat wahyu; Tuhan. Karena ada tuntunan untuk men-jadi orang islam yang menyeluruh (QS. Al-ba-qoroh: 208) dan otentik (QS. Maryam: 36) yang berfikir, akan tetapi memahami betul mana yang ta'abbudi dan mana yang ma'qul.

Mungkin benar apa yang dipaparkan ulama kontemporer yang mengatakan bahwa Sunna yang kita jalankan selama ini bisa saja bukan sunna, akan tetapi hadisnya. Hal ini merujuk pengertian sunna yang dipahami sebagai ruh, maksud, dan jiwa ucapan rasul yang mempunyai konteks yang terbatas dan temporer (isi dari hadist [kulit]). Maksud penulis, perlu definisi yang jelas ketika memaknai hadist dan sunna. Karena, jika ketika adalah riwayat formal dan verbal, tentang apa yang diucapkan, dilakukan, dan di-takrirkan Nabi, maka, Sunna sekaligus adalah spirit dan substansi yang ada di balik “ucapan, tindakan atau takrir Nabi” yang disebut dengan hadist tadi.

Terkat hal di atas semua tadi, masalah ketimpangan dan stagnansi umat akan terhindari. Dengan asumsi, apa yang telah beliau Rasul lakukan adalah dipandang dengan perspektif refleksi dari tangkapan beliau terhadap waktu, tempat, situasi dimana beiau berada. Dan, pe-maknaan nash yang turun di masa lampau agar dimaknai lebih dinamis.

Syahdan, konsep perjuangan agama sebagai respon positif terhadap kenyataan yang ada tidak hanya akan dipahami lebih sebagai perjuangan membangun verbalisme dan formalisme ajaran, ketimbang sebagai upaya kolektif untuk mela-kukan perubahan tatanan sosial secara sistematis dan terencana secara kreatif dan pandai.

Nah, sampai sekarang, pemimpin yang mampu meng-cover keadaan yang demikianlah yang pe-nulis idam-idamkan sebagai imam umat secara umum.

wallahu a'lam. Waakhiru da'wana anil hamdu lillahi rabbil 'alamin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun