“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”
Keputusan rapat pun batal.Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memang bukan perjalanan yang mudah.
Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu,
“tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.Mbah Ali tersenyum bijak.
“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.
Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, bahwa pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidin sebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affan radliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”
[catatan dari Gus yahya Cholil Staguf]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H